KOTA MALANG – malangpagi.com
Museum Bentoel Kota Malang, dulunya memuat koleksi tentang perkembangan industri rokok yang didirikan oleh Ong Hok Lion sejak awal 1900an. Namun sejak 2021 lalu, museum sejarah tersebut sudah dikosongkan pemiliknya, dan hingga kini terpampang banner bertuliskan ‘dijual’.
Tak sedikit pihak yang menyayangkan dijualnya lahan sarat sejarah tersebut. Sebut saja komunitas sejarah, pegiat cagar budaya, akademisi, termasuk Pemkot Malang. Hingga pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang pun kemudian mengajak Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang untuk meninjau kondisi eks Museum Bentoel yang berada di sebelah barat Pasar Besar Kota Malang itu.
Menurut Kabid Kebudayaan Disdikbud Kota Malang, Dian Kuntari, sebenarnya alih tangan kepemilikan sebuah museum atau benda atau bangunan cagar budaya itu bukanlah sebuah masalah, yang penting fungsinya tetap sebagai museum dan cagar budaya.
“Semua sudah diatur dalam Perda Kota Malang No. 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Lingkungan ini masuk dalam zonasi kecagarbudayaan dalam kawasan strategis sosial budaya. Di mana di situ perlu dilakukan perlindungan pelestarian pemanfaatan sesuai peruntukan,” ujar Dian Kuntari, Rabu (7/9/2022).
Bersama Candra Pamong Budaya dan TACB Kota Malang, dirinya pun meninjau bangunan kosong eks Museum Bentoel, dipandu oleh Satpam setempat. Dalam kunjungan tersebut, TACB memastikan bahwa masih terdapat dua benda atau Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) berupa arca dewa terbuat dari batu andesit menyerupai Siwa dan Nandi, yang berada di halaman eks Museum Bentoel.
Sekretaris TACB Kota Malang, Rakai Hino Galeswangi menyebut bahwa salah satu arca dibuat dalam posisi duduk silatumpang (padmasana), karena tertutup oleh kainnya. Selain itu juga memakai mahkota kirita, memakai anting (kundala), kalung (hara), kelat bahu (keyura), tali kasta (upavita), ikat dada (katibandha). Tangan kanan diletakkan di atas pangkuan paha kanan, namun telapak tangan putus, serta tangan kiri juga hilang mulai dari bahu.
“Tidak diketahui dewa siapa yang digambarkan. Karena laksana yang dipegangnya tidak ada [hilang karena putus]. Namun jika meninjau pada bagian kirita makuta yang terlihat pahatan kepala ular, perkiraan adalah Dewa Siwa. Sayang bagian wajah rusak, sehingga sulit untuk diidentifikasi. Juga tidak diketahui secara pasti dari mana asal arca tersebut berasal,” beber Hino.
Sementara, arca Lembu Nandi yang jaraknya dua meter dari arca pertama, dibuat dalam posisi rebah ke tanah dengan keempat kakinya ditekuk (njerum). Batunya sudah sedikit aus dan lapuk oleh jamur. Lembu Nandi merupakan kendaraan (wahana) Dewa Siwa, dalam bentuknya yang teriomorpic (hewan). Selain dianggap suci, Lembu Nandi juga diceritakan mmemiliki hubungan yang sangat dekat dengan Siwa.
“Tidak ada kuil Siwa yang tanpa Nandi di depannya. Maka dari itulah Nandi selalu diletakkan dalam bangunan tersendiri, yang berhadapan dengan kuil atau candi Siwa,” imbuh sejarawan lulusan Universitas Negeri Malang itu.
Sementara itu, pegiat budaya Isa Wahyudi yang turut hadir, memberikan saran agar dilakukan kajian terhadap kedua arca tersebut, untuk mengetahui keasliannya dan ditemukan asal usulnya. “Setelah dilakukan kajian, akan diketahui peluangnya untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya,” jelasnya.
“Jika benar, maka akan diregister dan diterbitkan SK oleh Walikota Malang. Perlu diingat, posisi dua arca tersebut rawan dicuri. Maka dari itu, sebaiknya dinas bersurat ke pemilik untuk diamankan di Museum Empu Purwa terlebih dahulu,” tutup pria yang akrab disapa Ki Demang tersebut. (DK99/MAS)