
KOTA MALANG – malangpagi.com
Koridor Kayutangan yang biasanya hiruk-pikuk dengan lalu lalang mobil atau orang yang sekadar duduk bersantai di kursi di trotoar kini nampak lenggang. Bahkan tak sedikit toko yang tutup.
Di sore itu, koridor yang dinobatkan sebagai Ibukota Malang City Heritage seakan tertidur. Maklum, adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 20 Juli 2021 tak luput memberi dampak kepada kawasan bisnis ini.
Kayutangan sudah dijadikan nama jalan sejak masa Kolonial Belanda, dengan nama Kajoetanganstraat. Sejarah penamaan ini sejatinya masih simpang siur. Berdasarkan penuturan salah satu pengurus Komunitas Jelajah Jejak Malang (JJM), Devan Firmansyah, ada beberapa teori mengenai asal-usul penamaan Kayutangan.
Ia memaparkan, Kayutangan karena sebelum 1914 terdapat petunjuk lalu lintas terbuat dari kayu berbentuk telapak tangan yang sedang menunjuk.
“Lantaran kayu berbentuk tangan itulah, maka jalan yang membujur ke Alun-Alun dikatakan penduduk Kota Malang dengan sebutan Kayutangan,” jelasnya kepada Malang Pagi, Kamis (15/7/2021).
Pria yang berprofesi sebagai penulis itu melanjutkan, teori kedua nama Kayutangan adalah sebutan perumpamaan bagi pepohonan beserta tangkai-tangkai yang berjajar di sepanjang jalan menyerupai tangan. “Dinamakan demikian karena terdapat pohon yang menyerupai tangan di ujung jalan menuju Alun-Alun,” imbuhnya.
Devan menambahkan, teori penamaan Kayutangan itu diperkuat oleh keterangan seorang warga Malang, Oei Hiem Hwie, yang menceritakan sewaktu Ia masih kecil menemukan banyak tumbuh pohon-pohon yang daunnya berbentuk aneh mengembang seperti telapak tangan jalan-jalan di sepanjang koridor Kayutangan.
“Pernyataan Oei Hiem Hwie ini diperkuat oleh keterangan dari A.V.B Irawan dari PT Bentoel Prima, yang menyatakan bahwa dirinya masih melihat pohon aneh itu di Taman Indrakila, yang saat ini sudah tidak ada lagi,” jelas lulusan pendidikan sejarah itu.
Devan menyatakan, teori di atas diperkuat dengan adanya catatan ilmiah, bahwa Kayutangan adalah nama tanaman yang memiliki nama latin Euphorbia Tirucalli L. Disebutkan dalam buku botani ilmiah berbahasa Belanda yang berjudul Nieuw Plantkunding Woordenboek voor Nederlandsh Indie yang ditulis oleh FSA de Clereq (1842-1906), seorang mantan Residen Ternate dan Riau.
“Ketika de Clereq meninggal pada 1906, buku tersebut disunting oleh Dr. M Greshoff, seorang Direktur Museum Kolonial di Kota Haarlem, Belanda dan diterbitkan JH De Bussy Amsterdam,” ungkap Devan.
Dalam buku tersebut dikupas mengenai Kayutangan pada halaman 262 dengan No Register 1389. “De Clereq menjelaskan bahwa masyarakat Jawa menyebut tumbuhan ini dengan nama Kayutangan, karena bentuknya mirip dengan tangan,” terang Devan.
Dijelaskan pula bahwa tanaman Kayutangan memiliki manfaat untuk kesehatan. Antara lain untuk penyembuhan nyeri lambung, tukak rongga hidung, nyeri syaraf, dan wasir.

“Pada abad ke-12 Masehi, daerah Kayutangan disebut dengan nama Patang dan juga Alas Patangtangan. Nama Patang ini disebutkan dalam Prasasti Pamotoh atau Prasasti Ukir Negara, yang dikeluarkan pada masa Kerajaan Kadiri, tepatnya pada tahun 1120 Saka atau 6 Desember 1198 Masehi, yang ditulis oleh Mpu Damawan di Talun yang kini dikenal sebagai Kampung Talun,” beber sejarawan itu.
Devan menuturkan, Alas Patangtangan disebutkan dalam kitab Serat Pararaton. Kata Patang dalam Bahasa Jawa Kuno (Kawi) bersinonim dengan kata watang yang berarti kayu.
“Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pada masa Kerajaan Kadiri daerah Kayu Tangan bernama Patang. Baru pada era Kerajaan Singhasari disebut Alas Patangtangan. Dan baru di masa Kolonial Belanda berganti nama menjadi Kayutangan,” pungkas Devan. (Har/MAS)