KOTA MALANG – malangpagi.com
Saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Hardiknas) pada 20 Mei 2022 lalu, Walikota Malang Sutiaji menetapkan 47 cagar budaya, salah satunya kostum Dara Puspita. Banyak pihak yang kemudian terheran-heran, kok bisa kostum panggung sebuah grup musik ditetapkan sebagai benda cagar budaya?
Dijelaskan oleh pengelola Museum Musik Indonesia (MMI), Hengki Herwanto, pihaknya telah melakukan kajian terhadap kostum Dara Puspita, mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, serta berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya.
Kepada Malang Pagi, salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang itu menyampaikan bahwa seni musik adalah bagian dari kebudayaan. Di samping itu, kostum Dara Puspita termasuk benda bersejarah yang berumur lebih dari 50 tahun.
“Dara Puspita (1964–1971) adalah sebuah grup wanita legendaris yang mewarnai perjalanan sejarah musik populer di Indonesia. Kostum tersebut dikenakan saat pentas di dalam negeri dan sejumlah negara di Eropa,” ungkap Hengki, Kamis (25/5/2022).
Lebih lanjut, pria yang pernah menjadi wartawan di majalah musik Aktuil itu membeberkan bahwa konser dan rekaman Dara Puspita selalu sukses. “Itu artinya, musik dan lagu mereka diterima baik oleh masyarakat,” jelasnya
Hengki pun mengungkapkan, Dara Puspita pernah membuat rekaman di Eropa. Di mana salah satu lagunya berjudul Surabaya yang menggunakan lirik berbahasa Inggis. Lagu tersebut dinilai mengandung nilai pendidikan, terutama tentang sejarah kepahlawanan Arek-Arek Suroboyo.
“Tak kalah pentingnya, busana yang saat ini ditetapkan sebagai benda cagar budaya adalah benda yang sama dengan yang digunakan dalam foto cover piringan hitamnya,” tambah Hengki.
Pendapat senada disampaikan salah satu pengurus MMI, Ari Yusuf Prasetyo. Menurutnya, kostum Dara Puspita dengan kombinasi warna merah putih memiliki keunikan tersendiri. “Warna merah putih pada kostum Dara Puspita ini menjadi sesuatu yang ikonik. Dipakai saat mereka berkeliling Eropa, dan tetap melekat warna kebangsaan,” ucapnya.
Lanjut Ari, kostum Dara Puspita tersebut diberikan langsung oleh salah satu personel grup musik Dara Puspita kepada pihaknya. Karena MMI dianggap sebagai sebuah museum musik yang respentatif. “Kostum Dara Puspita terjaga dengan baik di MMI. Kami melakukan perawatan dengan laundry khusus, sehingga warnanya tidak memudar,” paparnya.
Dengan adanya penetapan salah satu koleksi di MMI sebagai benda cagar budaya, pihaknya berharap muncul dukungan agar kostum Dara Puspita ini tetap terawat. “Misalkan dibuatkan lemari khusus untuk menyimpan benda legendaris ini,” harapnya.
Namun tidak semua pihak setuju penetapan kostum Dara Puspita sebagai benda cagar budaya. Salah satunya diungkapkan pemerhati cagar budaya, Restu Respati. Dirinya menilai kostum tersebut belum dapat disebut sebagai warisan budaya bangsa. “Status kostum tersebut sebagai koleksi museum sudah cukup,” tegasnya.
Menurut Ketua Komunitas Jelajah Jejak Malang (JJM) itu, kostum Dara Puspita belum memenuhi kriteria yang memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan.
Pria yang getol menyuarakan kebudayaan ini memandang, kostum Dara Puspita adalah salah satu dari sekian banyak kostum panggung yang dipakai saat serangkaian tur ke luar negeri. “Tidak ada nilai sejarah bangsa, kecuali sejarah grup itu sendiri. Tidak mewakili unsur budaya tertentu dan tidak ada nilai pengetahuan, pendidikan, maupun agama,” ucap Restu.
Pendapat berbeda disampaikan pemerhati cagar budaya lainnya, Tjahjana Indra Kusuma, yang menyampaikan bahwa dirinya tidak memiliki kapasitas sebagai penentu layak tidaknya kostum Dara Puspita ditetapkan sebagai benda cagar budaya.
“Apabila diurai secara kriteria cagar budaya pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tentunya panjang. Dan narasi tersebut justru harus disajikan pengusulnya,” terang Indra.
Dirinya mengaku belum mendapatkan narasi pengusul maupun kesesuaian kajian yang berkorelasi dengan pasal 5 ayat c, yang memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
“Jika pengusul maupun kajian yang beracuan pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tentang Cagar Budaya memenuhi syarat dan ketentuannya, disertai narasi yg dapat mendukung dan menguatkan kriterianya, maka keputusan penetapan merupakan kebijakan institusi yang berkompeten” terang Indra
Di sisi lain, Ia pun memberikan gambaran menurut skala prioritas. Bahwa masih banyak Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) marjinal lain, yang juga harus mendapat perhatian dan prioritas untuk ditetapkan dan dilindungi. (Har/MAS)