
MALANG – malangpagi.com
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, posisi korban seharusnya menjadi prioritas utama. Namun, dalam praktiknya, kewenangan besar yang dimiliki Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru dinilai berpotensi membatasi bahkan mengesampingkan hak-hak korban tindak pidana.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Andi Rachmanto, seorang advokat sekaligus praktisi hukum yang juga Managing Partner pada Maha Patih Law Office, melalui tulisan bertajuk Pembredelan Hak Korban Dalam Kewenangan Jaksa.
Menurut Andi, korban kerap menjadi pihak yang paling dirugikan dalam sistem hukum, namun justru paling sedikit dilibatkan.
“Hak-hak korban sering kali terpinggirkan ketika JPU menggunakan diskresinya dalam menentukan kelanjutan perkara, termasuk penerapan restorative justice,” ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam sejumlah kasus, jaksa dapat menghentikan penuntutan meskipun korban menuntut keadilan melalui proses hukum.
“Keputusan tersebut memberi kesan bahwa negara lebih berpihak pada efisiensi penanganan kasus daripada kepentingan korban,” imbuhnya.
Selain itu, kewenangan JPU dalam menyusun dakwaan dan menentukan alat bukti juga menjadi sorotan. Menurutnya, korban kerap merasa aspirasinya tidak diakomodasi secara memadai, bahkan dalam beberapa kasus tidak dilibatkan dalam proses persidangan.
“Padahal, korban adalah pihak yang paling terdampak dan seharusnya mendapat ruang dalam proses peradilan,” tegasnya.
Andi juga menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan terhadap keputusan JPU. Ia mencontohkan situasi ketika putusan pengadilan dinilai tidak memenuhi rasa keadilan korban, tetapi jaksa tidak melakukan upaya banding.
“Ketika jaksa tidak mengajukan banding, maka tertutuplah juga kesempatan korban untuk menempuh upaya hukum lanjutan,” paparnya.
Untuk itu, ia menilai perlu adanya pembaruan hukum yang lebih tegas dalam menjamin keterlibatan korban sejak tahap penyelidikan hingga persidangan.
“Pengawasan terhadap diskresi JPU harus diperkuat agar keputusan yang diambil tidak hanya berpihak pada efisiensi birokratis, tetapi juga menghormati hak-hak korban,” jelas Andi.
Sebagai informasi, kewenangan jaksa diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kejaksaan memiliki fungsi penindakan, pengawasan, serta pemberian konsultasi hukum kepada masyarakat.
Menutup pandangannya, Andi Rachmanto menegaskan bahwa pembredelan hak korban melalui kewenangan jaksa merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian bersama.
“Negara harus memastikan keadilan yang seimbang antara pelaku dan korban agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dapat terus tumbuh,” pungkasnya.
*) Oleh : Andi Rachmanto, advokat sekaligus praktisi hukum
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi malangpagi.com