Oleh: Andhika Yudha Pratama – malangpagi.com
Sejalan dengan perkembangan wilayahnya, Kota Malang menjelma menjadi magnet bagi pelajar dari berbagai penjuru tanah air, untuk melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
Berbagai pilihan perguruan tinggi negeri dan swasta, keterjangkauan biaya hidup, dan faktor cuaca yang nyaman adalah beberapa alasan yang membuat Kota Malang menjadi pilihan tujuan studi lanjutan tersebut.
Migrasi mahasiswa ke Kota Malang bahkan telah membentuk ekosistem sosial dan ekonomi dengan penduduk tetap kota ini. Sehingga keduanya saling mengisi dinamika kehidupan urban.
Salah satu sorotan perihal keterjalinan interaksi kaum urban, yaitu keberadaan mahasiswa yang berasal dari pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Wilayah yang terdiri dari empat kabupaten itu, yakni Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur, memang Dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang menyumbang jumlah mahasiswa yang melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Malang.
Meskipun tidak ada pencatatan pasti mengenai jumlahnya, namun setidaknya keberadaan mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi di Kota Malang.
Hidup sebagai kaum urban yang datang dari latar belakang kebudayaan berbeda, tentunya proses penyesuaian diri dengan lingkungan baru menjadi kunci, agar tata laksana kehidupan keseharian para mahasiswa dari Sumba dapat berjalan lancar.
Proses mengenalkan situasi sosial dan budaya Kota Malang kepada para mahasiswa tersebut dirasa perlu, sebagai media pencegahan konflik di kalangan mahasiswa.
Melalui diinisiasi oleh tim pengabdian kepada masyarakat jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang, digelar kegiatan bertajuk ‘Diseminasi Strategi Adaptasi Budaya Bagi Komunitas Mahasiswa Sumba di Kota Malang, Sebagai Upaya Pencegahan Konflik di Kalangan Mahasiswa’.
Program yang didanai melalui skema Badan Layanan Umum (BLU) Fakultas Ilmu Sosial 2021 ini diikuti hampir 40 mahasiswa asal Sumba, yang sedang menempuh Pendidikan tinggi di Kota Malang.
Dalam kegiatan ini, dihadirkan tiga pembicara yang secara bergantian menyampaikan pembekalan materi kepada peserta. Materi dibuka oleh FX Domini BB Hera, peneliti Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) Universitas Brawijaya Malang, yang membawakan materi mengenai akar budaya Malang. “Malang telah menjadi kota yang terbuka dengan identitas Areknya,” ujarnya.
Lebih lanjut Ia memberikan contoh akulturasi kebudayaan di Kota Malang, yang dapat dilihat dari jenis kuliner dan musik yang digandrungi oleh warga kota ini.
Paparan materi dilanjutkan oleh Nadiya Andromeda, dosen psikologi Universitas Wisnuwardhana Malang. Materi dibawakan dalam perspektif psikologi, yang menekankan pentingnya adaptasi budaya.
Nadiya mengatakan, “Adaptasi aktif perlu dilakukan untuk mengurangi stres akulturasi pada mahasiswa Ketika masa studi.” Menurutnya, ketidakmampuan beradaptasi mahasiswa akan menciptakan stres akulturasi. Sehingga mahasiswa akan menjadi sosok yang tertutup terhadap lingkungan, dan hal ini membuka peluang konflik.
Maka dari itu, adaptasi budaya penting bagi mahasiswa mahasiswa, sebagai langkah pencegahan konflik yang terjadi antarmahasiswa atau dengan warga setempat.
Hal tersebut dibenarkan oleh Prisca Kiki Wulandari, saat menyajikan materi mengenai manajemen konflik. Periset dari Perkumpulan Periset Karavan Cendekia, yang tengah melanjutkan studi doktoral Ketahanan Nasional ini menegaskan, bahwa peluang konflik akan terbuka lebar dalam komunitas masyarakat yang tertutup.
Oleh karenanya, adaptasi budaya yang berhasil akan menciptakan tata sosial inklusif. Kesadaran akan adaptasi budaya juga akan berimplikasi terhadap iklim pendidikan di Kota Malang yang kondusif.
–––
* Penulis adalah dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.