
Opini: George da Silva – malangpagi.com
Setiap hari hidup kita, kegiatan apa saja telah melakukan politik praktis, taktik, dan strategi. Setiap orang ingin merebut peluang, kesempatan mencapai kesuksesan.
Tetapi kebanyakan orang yang merasa tersisih dalam kehidupan politik, mereka merasa disakiti, ditinggali, putus asa, iri hati, rendah diri, cemburu, malu, dendam, bahkan sampai depresi dan sakit jiwa. Hal ini, yang disebut dengan pola pikir yang memiliki “Crab Mentality” (Mental Kepiting).
Istilah politik ini, diambil dari kegiatan nyata dari hewan kepiting yang terkenal dengan capitnya, selalu menarik kawannya turun ketika berusaha keluar dari perangkap, seperti ember, atau bentuk yang lain. Tujuannya tidak ingin kawannya menjadi santapan pemburu, sehingga menarik kawannya yang berusaha keluar dari wadah tersebut.
Politik itu indah, politik itu seni dan ilmu, tetapi apabila kita melakukan tidak sesuai dengan etika politik, perilaku politik yang standar, maka politik itu akan menjerat dan mengikat kita dalam belenggu yang tidak bisa terpisah lagi.
Sikap kita yang egois atau memiliki perasaan iri terhadap suatu sistem pemerintahan yang sedang berjalan. Kita sadari secara alami sosiologi kehidupan manusia berkelompok, sehingga akan mempermudah manusia dalam mencapai satu tujuan.
Kehidupan kelompok, sudah pasti ada kompetitif, memperebut kekuasaan. Hal ini, wajar dan sangat bermanfaat apabila perebutan kekuasaan dengan hal yang fair dan etika berpolitik, tidak memfitnah, mempercundangi, membenci, bahkan dengan menabur uang (money politics) kepada masyarakat mempengaruhi meraih jabatan, kedudukan, dan kekuasaan.
Penyebab Munculnya CM
Kehidupan masyarakat di berbagai sektor, sangat mempengaruhi mental seseorang untuk menghadapi permasalahan, rintangan, yang mungkin datang bertubi-tubi tergantung dari situasi dan kondisi pekerjaannya.
Jika, yang bersangkutan terjun dalam dunia politik hampir setiap hari tingkat laku kita selalu dipantau oleh khalayak, sehingga apa yang dilakukan menjadi buah bibir dan diberitakan di media masa, online, bahkan sampai ke Tiktok dan berbagai media komunikasi.
Crab Mentality (Mental Kepiting) tidak mau melihat orang lain berhasil dalam kariernya. Timbulah persaingan yang ketat dalam berpolitik satu sama lain menjatuhkan.
Menurut Francis Fukuyama (2020), mereka mempertahan martabat, identitas, sehingga mereka melakukan politik kebencian. Anehnya mereka adalah kawan-kawan dalam seperjuangan, bahkan satu Partai Politik dan satu ideologi.
Seseorang yang mentalitas kepiting ingin mencegah orang lain dalam menggapai kesuksesan, bahkan akan menghalangi orang di sekitarnya sukses daripada dirinya.
Contoh kepemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) ke koalisi semakin mengokohkan kekuasaan Jokowi.
Bahkan semua lembaga tinggi negara legislatif (MPR, DPR, DPD) tidak berdaya. Karena mereka semua mempunyai tujuan dan maksud yang sama memperebut “kue pembanguan” yang tersedia untuk kepentingan Parpol, konstituennya, dan kepentingan pribadi.
Hal ini, tidak bisa disangkal lagi. Masyarakat dapat membaca dengan mudah permainan elit politik, elit Parpol, bahkan elit lainnya, yang telah masuk ke dalam ring kekuasaan.
Kritik dan Kritis Perlu
Kritik dan kritis dalam pemerintahan itu wajar dan perlu untuk mencapai keseimbangan dalam berpolitik. Baik dari Parpol yang tidak bergabung dalam koalisi Jokowi, maupun orang-orang yang tersingkir dari lingkaran kekuasaan, karena kesalah sendiri atau saling sikut menyikut.
Anggapan orang berkarakter “Crab Mentality”, jika saya tidak bisa, maka engkau juga tidak bisa. Hal ini, karena iri hati, tersingkir, dan tidak digunakan dalam berbagai acara apa pun.
Kehidupan masyarakat yang tidak bisa dihindari adalah sifat mengkritik, meremehkan, hingga memanipulasi orang. Apalagi teknologi yang serba canggih dari hari ke hari berkembang, setiap orang bisa melakukan apa saja.
Contoh sosok Fadli Zon, Rocky Gerung, Refly Harun, Said Dudu, Fahri Hamzah, dan beberapa orang lainnya, selalu mengritik kebijakan pemerintah (Jokowi), dengan berbagai alasan ilmiah maupun non ilmiah hampir setiap hari di berbagai media sosial (medsos).
Orang-orang seperti ini, perlu kehadirannya di kancah politik dan pemerintahan, karena mereka orang-orang yang berpengalaman di bidangnya.
Apakah mereka bersekutu dan menggunakan teori “Crab Mentality”, sehingga mereka sendiri tidak bisa terlepas dari persekutuan dan tarik menarik, agar kawan-kawannya jangan keluar dari wadah yang sama.
Mungkin bisa terjadi, tetapi kritik dan kritis dari mereka sebagai keseimbangan dalam pemerintahan setiap kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat.
Pemerintah yang kuat adalah bisa menampung, mengayomi setiap kritikan, dan segera mengambil langkah-langkah perubahan atas kritikan tersebut. Itu, namanya pemerintahan yang kuat untuk melindungi rakyatnya dari segala masukan, saran yang bernilai.
Bentuk Solidaritas
Mental Kepiting ini, menggambarkan kepada kita hidup yang baik dan mengikuti pola kehidupan yang toleransi, damai, adil, dan berintegritas.
Fenomena hewan kepiting ini menarik untuk dipelajari. Karena kegiatan mereka satu sama lain tidak ada yang keluar dari wadahnya sebagai solidaritas.
Hal ini, karena tidak ingin kawannya mendapat kesusahan. Tetapi, apabila kita lebih jauh lagi memahami tentang mental kepiting maknanya tidak selalu demikian indahnya.
Apakah kita selalu bertahan dalam melakukan kritik dan kritis terhadap kelompok lain atau pemerintahan yang sedang berkuasa? Apakah kita harus bertahan dalam prinsip kelompok atau memisahkan diri dengan kelompok? Atau memilih hidup mati bersama kelompok yang sudah membesarkan nama, martabat dan identitas?
Kritik boleh-boleh saja, asalkan dalam koridor kesepakatan umum. Tetapi jangan ada rasa ego, iri hati, dendam, malu terhadap perilaku dari penguasa terhadap kita.
Oleh karena itu, situasi ini jarang membuat kita sulit untuk merasa tulus menghargai kesuksesan atau pencapai kemajuan dari suatu pemerintahan, karena semata-mata kita tersingkir dalam percaturan politik dan kekuasaan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pola pikir Mental Kepiting yang tidak dapat pisah dari kehidupan kita sehari-hari, adalah ketergantungan manusia dalam hidup berkelompok.
Kita juga harus merelakan atau memudahkan mereka mencapai tujuan masing-masing dan keluar dari kelompok, perkumpulan, bahkan Parpol. Memberi kesempatan mereka berkembang dan mencari jati diri. Semoga.
–––
*Penulis Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Malang