KOTA MALANG – malangpagi.com
Sekitar 30 orang yang terdiri dari penulis, pegiat sejarah, anggota IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Cabang Malang Raya, arsiparis, pustakawan dan komunitas berkumpul di Ruang Pertemuan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Malang dalam acara Diskusi Publik Penyusunan dan Penerbitan Buku Spektrum Satu Abad Stadion Gajayana Malang, Jumat (12/1/2024).
Diskusi berlangsung gayeng dan sarat informasi utamanya tentang Stadion Gajayana yang menjadi objek pembahasan. Pemantik diskusi Haris Wibisono atau akrab disapa Sam Nino mengatakan bahwa Kota Malang memiliki tata kelola yang baik. “Kota Malang memang sudah ‘Mbois Ilakes’ sejak dulu dengan tata kota yang digambarkan Herman Thomas Karsten seorang arsitek Belanda yang juga merancang desain taman-taman kota,” jelas Sam Nino memulai diskusi.
Dikatakannya, arsitektur Kota Malang identik dengan arsitektur indish yakni gabungan antara Eropa dan India. “Dulu Indonesia disebut India, sehingga arsitekturnya dijuluki Indish. Karakter ini yang menjadi gambaran wajah Kota Malang dan menjadi ciri khas dimana sampai saat ini tetap dipertahankan. Bahkan, keberadaan Stadion di Kota Malang dimulai pada tahun 1924 hingga 1926 dan Jalan Ijen dibangun dari tahun 1920 hingga 1930 masih dapat dinikmati,” ujarnya.
Dalam pandangan Sam Nino yang merupakan arsitek ini menyebut Kota Malang menjadi kawasan Belanda secara sepotong-sepotong. “Saat ini yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya adalah Jalan Ijen dan Kayutangan. Sebenarnya peninggalan Karsten itu dari Stasiun hingga Jalan Ijen dapat dijadikan satu kawasan utuh artinya benar-benar tidak ada perubahan,” ungkapnya.
“Kita membahas sejarah tidak hanya sekedar nostalgia tetapi mengambil pelajaran bagaimana sebuah rancangan kota sangat berpengaruh bagi Kota Malang. Seperti halnya Stadion Gajayana yang dilihat sebagai satu objek tunggal maupun sebagai salah satu bagian (komponen atau bangunan) dari kawasan besar peninggalan Belanda,” beber Sam Nino.
“Sebagai objek bangunan tunggal, Stadion Gajayana memiliki lingkup bangunan dan ruang terbuka hijau yang merupakan kawasan kecil yakni stadion dalam dan stadion luar. Kemudian, keberadaannya sebagai bagian dari kawasan besar tata kota Belanda. Mulai Stasiun, Tugu hingga Jalan Ijen. Mindset ini yang pertama kali perlu dipahami secara proporsional,” imbuhnya.
Menurutnya, adanya pembangunan stadion sudah masuk dalam peta desain tata kota Belanda, dimana yang masih asli adalah lapangan bola dengan jalur lintasan atletik dan ukurannya tidak berubah sejak dulu. “Lapangan hijaunya itu yang berpeluang sebagai cagar budaya dengan status hukumnya. Meskipun bangunan Stadion Gajayana dan tribunnya adalah bangunan baru,” tandas Sam Nino.
Hal senada disampaikan salah satu peserta diskusi, Arief Wibisono alias Bison. Penulis yang sudah meluncurkan Buku Laskar Hizbullah ini berpendapat, jika dilihat korelasi antara pembangunan untuk training center Timnas Indonesia di IKN (Ibukota Negara) dengan Stadion Gajayana adalah Stadion Gajayana merupakan plan projek untuk IKN.
“Sebetulnya, Kota Malang sudah mendahului untuk arsitektur stadion di Indonesia. Di depan ada 3 lapangan kosong, ada stadion dalam dan luar. Selain sebagai tempat olahraga, Stadion Gajayana juga sebagai resapan,” jelas Sam Bison.
Ia menambahkan, sebenarnya Kota Malang sudah modern di era Belanda. “Struktur Stadion di tengah-tengah lapangan itu ada gorong-gorong yang dibangun tahun 1924 bersamaan berdirinya stadion yang berfungsi untuk pembuangan air dan peresapan air lapangan stadion. Ini dapat menjadi contoh,” ucapnya.
Kemudian, salah satu peserta anggota IAI menyampaikan munculnya isu Stadion Gajayana sampai harus dibongkar atau lainnya. Ia menilai kemungkinan dari sisi Pemerintah melihat Stadion Gajayana seperti tidak bisa bergerak secara ekonomis sehingga harus menanggung banyak biaya perawatan.
“Dari sisi lain seiring dengan perkembangan kota, Stadion Gajayana berdiri diantara pemukiman, dikepung pusat perbelanjaan dan jalur yang padat sehingga menjadi stadion yang tidak representatif yang berakibat tidak bisa melakukan kegiatan berskala besar,” terangnya.
Baginya, bangunan Stadion Gajayana juga tidak mungkin ditambah karena akan menambah rasio parkir. “Banyak yang harus disesuaikan dengan situasi sekarang agar Stadion Gajayana tidak mati. Ini yang perlu dicarikan solusinya,” bebernya.
Sementara itu, pemantik kedua adalah Dimmy Hariyanto, politisi PDI (Partai Demokrasi Indonesia) bercerita mengenai kisahnya mengusulkan nama Stadion Gajayana Malang.
“Saya bersama Bapak Moertono Aladin dari Fraksi ABRI dan Bapak Jasman Supriyadi dari Fraksi Golkar mengusulkan nama Stadion Gajayana Malang kepada Ebes Sugiyono, Walikota Malang periode 1973 hingga 1983. Diceritakannya, penamaan Stadion Gajayana tersebut tidak terlepas dari peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) yang terjadi di Jakarta. Kami merespon peristiwa Malari secara kreatif dengan melahirkan Idjen Fair dimana saat itu mampu menggerakkan perekonomian dan memberikan inspirasi pemberian nama Stadion Gajayana,” ujarnya.
Ebes Dimmy begitu ia disapa juga membagikan kisahnya tentang kompetisi breakdance yang dimulai dari Stadion Gajayana. Ada pula prestasi olahraga tinju Thomas Ameriko pada era Golden Time Tinju yang juga diselenggarakan di Stadion Gajayana. Lalu, pendiri Museum Musik Indonesia Hengki Herwanto menyampaikan dirinya pernah meliput konser Mus Mulyadi penyanyi keroncong yang terkenal di tahun 1970-an.
“Saya juga pernah meliput Group Band Pretty Sister yang pernah menjadi juara festival band wanita se Indonesia yang digelar di Stadion Gajayana,” ujar Hengki.
Tidak hanya mengupas sisi positif saja. Ternyata, Stadion Gajayana juga menyimpan cerita kelam yaitu sebagai tempat mangkal waria, PSK (Pekerja Seks Komersial) dan juga sebagai tempat untuk berpacaran. Kisah ini dibagikan seniman Bambang AW. “Di tahun-tahun lampau itu, Stadion Gajayana belum banyak diterangi lampu jalan. Maka, sering digunakan untuk berbagai hal. Namun, hal-hal tersebut hanya terjadi malam hari dan tidak setiap hari juga. Jadi, Stadion Gajayana bukan sebagai tempat kemunculan bibit-bibit prostitusi di Kota Malang. Untuk lebih detailnya, ditunggu saja cerita saya pada pertemuan diskusi publik berikutnya agar tidak salah data,” jelas pelukis ini menegaskan.
Tanggapan lain datang dari Satria, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang. Dirinya menyarankan agar dalam diskusi publik membahas tentang Stadion Gajayana ini juga melibatkan sejarawan.
“Kami berharap agar dari teman-teman sejarah juga terlibat dalam diskusi publik ini mengingat akademisi sejarah kadang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan di Kota Malang ini,” terang Satria.
Kemudian, Wahyu Eko Setiawan atau lebih populer disapa Sam Wes menyampaikan diskusi publik ini akan dihelat setiap Hari Jumat sebanyak lima kali pertemuan dengan tema dan narasumber berbeda namun koridornya tetap membahas Stadion Gajayana.
“Mulai dari sejarah, arsitektur, konser musik hingga sisi lain yang bersinggungan dengan Stadion Gajayana sebagai pemantik untuk penyusunan dan penerbitan Buku Spektrum Satu Abad Stadion Gajayana Malang dan untuk pertemuan pamungkas akan kami undang Tim Kerja Buku Spektrum bersama Pj. Walikota Malang serta Konsultan Literasi Digital untuk membahas format masterpiece Buku Spektrum Kota Malang edisi khusus Satu Abad Stadion Gajayana Malang,” tutup Sam Wes. (Har/YD)