
KOTA MALANG – malangpagi.com
Dalam aksi peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2025, sejumlah buruh dan kelompok masyarakat lain menyerukan dua tuntutannya di depan Gedung DPRD Kota Malang.
Sekretaris Jenderal Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Fatkhul Khoir mengatakan bahwa pihaknya medesak agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025, yang merupakan revisi dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) segera dicabut.
“Kedua undang-undang ini menjadi ganjalan serius dalam demokrasi kita. UU Cipta Kerja secara jelas menggerus hak-hak buruh, memperluas sistem kerja kontrak, mendorong upah murah, dan mempersempit jaminan kesejahteraan,” ujar Fatkhul, Kamis (1/5/2025).
Fatkhul menyebut, UU Cipta Kerja adalah simbol ketidakadilan struktural yang semakin menekan kelas pekerja.
“Kita lihat sendiri, buruh semakin tidak memiliki kepastian kerja, sementara perusahaan terus diuntungkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Fatkhul Khoir menyoroti dampak serius dari revisi UU TNI yang disahkan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2025. Ia menyatakan, regulasi baru ini melegalkan keterlibatan TNI dalam urusan sipil, yang seharusnya menjadi ranah pemerintahan sipil dan masyarakat sipil.
“Jika sebelumnya Operasi Militer Selain Perang (OMSP) harus berdasarkan kebijakan politik negara, kini cukup dengan keputusan presiden. Ini membuka ruang yang sangat besar bagi intervensi militer,” jelasnya.
Fatkhul mengungkapkan adanya pasal dalam UU tersebut yang memungkinkan TNI masuk dan bertindak dalam situasi pemogokan buruh atas permintaan pemerintah daerah.
“Ini jelas berbahaya. Aksi buruh bisa dianggap gangguan, lalu dibubarkan dengan kekuatan militer. Demokrasi apa namanya kalau begitu,” tegasnya.

Selain itu, SPBI juga menilai bahwa revisi UU TNI merusak tatanan internal militer sendiri, termasuk sistem kepangkatan dan peran militer dalam kehidupan bernegara.
Ia mengingatkan bahwa langkah ini merupakan sinyal kemunduran demokrasi, mengingat sejarah kelam praktik dwifungsi ABRI di masa Orde Baru.
“Sekarang kita lihat TNI mulai masuk ke ruang-ruang sipil, bahkan berencana membuat pabrik obat. Ini tugas sipil, bukan militer. Kalau ini terus terjadi, bukan tidak mungkin demokrasi kita akan roboh pelan-pelan,” ujarnya.
Dirinya menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar isu buruh, melainkan perjuangan untuk mempertahankan ruang demokrasi yang sehat, adil, dan bebas dari intervensi kekuasaan bersenjata.
“Kami menolak lebih dari sekadar undang-undang. Kami menolak kembalinya sistem otoritarianisme dengan wajah baru,” pungkasnya. (Dik/YD)