KOTA MALANG – malang pagi.com
Satu di antara sedikit rumah makan yang mengusung konsep museum adalah Inggil Museum Resto. Sang pemilik mengaku sengaja ingin menghadirkan suasana berbeda.
“Pak Dwi Cahyono [pemilik] sengaja mengonsep rumah makan ini dengan perpaduan restoran dan museum. Jadi, sembari menunggu hidangan datang, pengunjung dapat membaca story telling yang terpampang di dinding. Selain perut kenyang, tamu juga dapat memperoleh pengetahuan, utamanya tentang sejarah Kota Malang,” ungkap Saiful Akbar, karyawan sekaligus guide Inggil Museum Resto, saat menemani Malang Pagi menjelajah seluruh rumah makan tersebut, Rabu (15/12/2021).
Akbar juga menceritakan, sebelumnya restoran ini berada di Jalan Gajahmada No. 4, Kiduldalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Namun saat ini lokasinya pindah ke Jalan Zainul Arifin 53A–53B, Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Kota Malang dan baru launching pada 3 Desember lalu.
“Koleksi yang disajikan beraneka rupa. Mulai narasi Belanda datang ke Malang, masa Bupati Malang dengan koleksinya, deskripsi mengenai Bouwplant, pajangan mesin tik kuno, setrika, radio, dan jam weker kuno. Semuanya tersaji di lantai satu,” papar Akbar.
“Sedangkan masa kejayaan Kayutangan sebagai pusat perdagangan Eropa, momentum Rapat Akbar KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), peristiwa Malang Bumi Hangus, ataupun panggung pertunjukan disuguhkan di lantai dua,” lanjutnya.
Nuansa budaya Jawa pun terasa kental, dengan alunan gamelan terdengar syahdu, membuat pengunjung seolah betah berlama-lama di tempat itu.
Sembari menikmati pajangan yang terpampang. Akbar pun mengisahkan awal Belanda masuk ke Malang pada 1767, dan menetapkan Malang sebagai daerah Reohtstreeks bestuurd Gebied.
“Artinya Malang resmi menjadi daerah Administratif Belanda, ditandai dengan pendirian Benteng pertama di Malang, yang letaknya di sebelah kiri Sungai Brantas. Benteng tersebut saat ini berubah menjadi Rumah Sakit Saiful Anwar,” tuturnya.
Dirinya menjelaskan, Kota Malang pada 1812 sudah dipersiapkan menjadi daerah penghasil kopi. Melalui perjanjian Contingenten en Verplichte Leverantien, dilakukan pertukaran penyerahan pajak dari Jawa ke Belanda.
“Di Malang, obyek pajak terbesar adalah kopi dan menjadi primadona. Sehingga diberi penjaga kopi khusus bernama Koffie Sergeant atau sersan kopi, dan berkembang menjadi pengawas daerah atau residen,” terang Akbar.
Tidak hanya itu, perkembangan Kota Malang dideskripsiksn Akbar dalam Bouwplant satu hingga delapan. “Pembangunan Kota Malang dimulai pada 1916. Saat itu Dewan Kota (Gemeenteraad) memutuskan untuk membangun perumahan bagi golongan orang Eropa, yang terletak di sekitar Wilhelmina Straat [sekarang Jalan Dr. Cipto] dan sekitarnya,” terangnya.
Dijelaskan oleh Akbar, waktu itu Malang masih belum memiliki Walikota. Jabatan setara Walikota masih dirangkap oleh Asisten Residen FL Broekveldt. Baru di 1919, dilantik Walikota pertama, yaitu HI Bussemaker, yang menjabat hingga 1929,” papar Akbar.
“Disusul dengan Bouwplant II hingga VIII, penataan ini dimaksudkan agar Malang sebagai kota yang baru terbentuk dapat tertata, dengan pembagian-pembagian wilayah yang diatur sedemikian rupa. Melalui tangan dingin Herman Thomas Karsten, tak mengherankan jika Gemeente Malang menjadi kota dengan penataan kota terbaik di Hindia Belanda,” imbuhnya.
Menariknya, saat menjelajah ke lantai dua terdapat replika Studio Malang yang pernah berjaya di kawasan Kayutangan. “Pemilik Studio Malang bernama Ong Kian Bie lahir di Malang pada 1 Maret 1907. Ia adalah putra kedua dari pedagang Cina bernama Ong Khee Kict. Sejak ayahnya meninggal, Ong Kian Bie menjadi tulang punggung keluarga,” cerita Akbar.
Ong Kian Bie kemudian bekerja di Eastern Photo Studio milik pamannya, yang berada di Jalan Kayutangan No. 17. Setelah pamannya meninggal, Ong Kian Bie melanjutkan jejak sang paman dengan mengubah studio milik pamannya itu menjadi Studio Malang.
“Sejak saat itu, karier Ong semakin sukses. Tidak hanya sebagai fotografer, namun Ong juga berkiprah sebagai pelukis, desainer, serta biro iklan,” kupas Akbar.
Setelah Ong meninggal, sebagian peralatan kameranya disimpan di Museum Leiden Belanda, dan simbol Malang Photo pertama dari kayu dihibahkan ke Museum Inggil oleh putrinya, Ai Ling Tan Ong.
“Hampir semua foto-foto era 1920–1950an yang dipublish di media kala itu adalah karya Ong Kian Bie. Dan oleh Inggil dipublikasikan pada event dan Museum Malang Tempo Doeloe, sejak 2004 hingga sekarang, serta digunakan sebagai media pembelajaran kepada generasi muda,” pungkas Akbar. (Har/MAS)