KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Menyambut Tahun Baru Saka 1956, masyarakat pecinta dan pelestari budaya Nusantara menyelenggarakan Larung Sesajen berupa kepala kerbau di Gunung Kombang, Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, pada Selasa malam (9/8/2022). Ritual ini merupakan bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan yang Maha Esa.
Prosesi ritual ini turut dihadiri budayawan, tokoh spiritual dan supranatural, serta masyarakat pecinta budaya. Kegiatan Larung Sesajen ini merupakan awal dari rangkaian kegiatan budaya, yang mengusung tema “Manusuk Sima Samudera Mantana”.
“Rangkaian kegiatan menyambut Tahun Baru Saka 1959 ini diawali dengan Larung Sesajen berupa kepala kerbau. Selanjutnya akan dilakukan kirab pusaka dan gunungan, serta pergelaran Ringgit Purwa pada Kamis (11/8/2022),” jelas Ki Jati Supriyanto selaku penyelenggara.
Pria yang lebih akrab disapa Mbah Pri tersebut kemudian menjelaskan, maksud dari tema “Manusuk Sima Samudera Mantana” adalah sebuah hadiah yang sangat luar biasa bagi Desa Sima, yaitu peletakan batu pertama berdirinya sebuah candi.
Di mana dikisahkan gunung Mahameru dibawa oleh resi kura-kura, yang diikat di bawah ekor Naga Sentosa (Pratama). Merujuk dari kisah ini, diyakini bahwa Nusantara akan bangkit dan berdiri tegak. “Mudah-mudahan Nusantara akan menjadi sesembahan sewu negara. Untuk mewujudkannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu butuh proses sangat luar biasa. Terjadi pergolakan dan gonjang-ganjing, sesuai sabda para leluhur. Bahkan nanti akan terjadi Perang Dunia Ketiga, hingga munculnya Satrio Piningit,” terang Mbah Pri.
Dirinya pun menyebutkan, syarat utama Larung Sesajen kepala kerbau antara lain adalah ugo rampe, ucok bakal, tumpeng, dan beraneka bunga (telon, setaman, pancawarna). Untuk ucok bakal ada dua jenis. Yang untuk dilarung dilengkapi dengan pisang dan kelapa. Selain itu juga ada jenang suro.
“Kepala kerbau maupun sesajen lainnya sangat bermanfaat bagi makhluk hidup, terutama yang hidup di tanah maupun air. Sebagai wujud syukur indahnya berbagi kepada sesama manusia dan makhluk hidup lainnya, untuk keselerasan alam,” tutup Mbah Pri.
Di kesempatan yang sama, Sutarno yang berasal dari padepokan Sukorini Semarang mengapresiasi kegiatan ritual budaya ini. Menurutnya, doa-doa saat menyampaikan sesaji adalah permohonan sekaligus harapan bagi bangsa Indonesia, agar dapat kembali ke zaman kejayaan, seperti era Majapahit dulu.
“Untuk mengembalikan kejayaan seperti era Majapahit, peran generasi penerus sangatlah penting. Salah satunya yakni menjaga, merawat, dan melestarikan warisan budaya leluhur,” tandasnya. (DK99/MAS)