KOTA MALANG – malangpagi.com
Patung setengah badan Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan 45 yang menjadi pendobrak angkatan pujangga baru, berdiri gagah menghadap ke arah barat. Patung tersebut dapat ditemui di Taman Chairil Anwar, tak jauh dari Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Kristus.
Menurut Profesor Hendricus Supriyanto, Guru Besar Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, patung Chairil Anwar dibangun di kawasan Kayutangan atas inisiatif golongan muda yang tergabung dalam Angkatan Pelukis Muda Malang (APMM) dan grup sandiwara Candra Kirana Malang.
“Kemajuan Kota Malang terasa setelah tahun 1950, saat Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan di Malang ada Pemerintahan Kotapraja. Saat Malang menjadi Kotapraja, di tahun 1955 baru terbentuk Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, atau disingkat PTPG. Di Indonesia hanya ada tiga PTPG. Yaitu di Batusangkar Sumatera, Bandung, dan Malang,” tutur Prof. Hendricus kepada Malang Pagi, Minggu (30/1/2022).
Dari PTPG itulah akhirnya berkembang menjadi Fakultas Keguruan Universitas Airlangga di Malang. Adanya perguruan tinggi ini munculah pemuda-pemuda. Mereka membentuk grup Pelukis Muda Malang (APMM) dan grup sandiwara Candra Kirana, di mana tempat kumpulnya di depan SMA Negeri 3 sekarang.
“Dari perkumpulan inilah, para pemuda di antaranya Achmad Hudan Dardiri mendirikan patung Chairil Anwar pada 1 April 1955, dan diresmikan pada 28 April 1955,” lanjut Prof. Hendricus.
Pria yang pernah menjadi wartawan harian Sinar Harapan Jakarta (1974–1986) itu mengungkapkan alasan dipilihnya sosok Chairil Anwar. Menurutnya, keputusan tersebut guna menunjukkan semangat pemuda-pemudi Malang pada zamannya tentang kemerdekaan, seperti cita-cita Chairil Anwar.
Sambil membuka lembaran halaman buku, Prof. Hendricus bercerita mengenai peristiwa kronik budaya, yang dimuat dalam Majalah Seni nomor 7 tahun pertama, Juli 1955, tentang peristiwa peresmian patung Chairil Anwar.
“Peristiwa peresmian 28 April 1955 baru dimuat dua bulan kemudian, karena majalah dulu terbitnya bulanan. Majalah Seni ini merupakan satu-satunya media yang merekam peristiwa bersejarah tersebut. Di dalamnya ditulis bahwa Ketua Panitia pembuatan patung adalah Achmad Hudan Dardiri,” ungkapnya.
Majalah yang diterbitkan trio HB Jassin, Trisno Sumaryo, dan Amir Pasaribu itu juga menceritakan jalannya peresmian yang dibuka oleh Walikotamadya Malang saat itu, Sardjono.
Prof. Hendricus menerangkan, dipilihnya Kayutangan sebagai tempat berdirinya patung Chairil Anwar dan sebagai lokasi pembacaan puisi saat peringatan hari kematiannya, lantaran area tersebut dinilai memiliki letak yang strategis, sebagai pusat kota, dan masih lenggang.
“Dulu, saat memperingati peristiwa wafatnya Chairil Anwar pada 28 April, anak-anak angkatan muda berkumpul untuk membaca puisi. Perlu diingat, kenapa di Kayutangan, karena saat itu Malang masih sepi. Stasiun Kota Malang masih belum ramai. Kawasan Pecinan pun masih ditumbuhi pohon waru yang di bawahnya menjadi tempat mangkal becak dan dokar. Kayutangan menjadi tempat strategis, karena merupakan jantung kota Malang,” beber Profesor yang juga penulis itu.
Saat disinggung, apakah Chairil Anwar pernah berorasi di sekitar Gedung Societiet Concordia Malang [saat ini gedung Sarinah] saat berlangsungnya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kelima, pada 25–26 Maret 1947, Prof. Hendricus tegas membantah rumor tersebut.
“Tidak! Chairil Anwar tidak berorasi. Namun ada seseorang yang membacakan puisi Kerawang Bekasi. Di situ, ada kalimat penting. ‘Kami cuma tulang belulang berserakan tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan. Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Syahrir’,” ucap Prof. Hendricus.
Bantahan serupa juga diungkapkan sejarawan muda dari Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya, FX Domini BB Hera, yang akrab disapa Sisco. “Setahu saya dari buku Parada Harahap yang memuat sidang KNIP, tidak disebutkan Chairil Anwar melakukan orasi saat sidang,” terangnya.
Dirinua pun menegaskan bahwa Chairil Anwar merupakan sosok penanda Angkatan 45. “Pasca kematiannya pada 1949 di usia relatif muda, Chairil Anwar menjadi penanda Angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia. Beliau tak hanya penyair yang aktif dalam gelanggang revolusi, namun juga membangun sastra Indonesia yang serba baru,” papar Sisco.
“Satu dekade pasca Indonesia merdeka, Komite Kebudayaan Kota Malang memilih dan mendirikan patungnya sebagai simbol penjaga nyala api revolusi dalam suasana pasca kemerdekaan,” pungkasnya. (Har/MAS)