
KOTA MALANG – malangpagi.com
Sejumlah wartawan mengalami tindak kekerasan saat meliput aksi demonstrasi penolakan UU TNI di depan Gedung DPRD Kota Malang.
Empat organisasi jurnalis di Malang Raya yakni, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI), mengutuk keras tindakan aparat yang dinilai brutal dalam menangani massa aksi.
“Kami menerima laporan bahwa jurnalis mahasiswa mengalami tindak kekerasan saat meliput aksi demo di Gedung DPRD lalu. Ini tindakan yang tidak bisa ditoleransi,” ujar Ketua AJI Malang, Benni Indo.
Salah satu korban, DN, seorang jurnalis mahasiswa yang mengalami pemukulan oleh aparat berbaju preman. Meski ia telah menunjukkan kartu pers, DN tetap diseret, dipukul, hingga diinjak-injak,
“Dia membawa identitas jurnalis, tetapi aparat tetap melakukan kekerasan. Ini bukan hanya mencoreng institusi mereka, tetapi juga mencederai prinsip mengayomi dan melindungi,” jelas Benni.
Tak hanya DN, jurnalis mahasiswa lain bernama KI dari LPM Kavling10 UB juga mengalami kekerasan. Saat berusaha menjauh dari lokasi aksi di depan Hotel Tugu, ia dipukul oleh aparat dan ponselnya dirampas.
Hal serupa dialami oleh seorang jurnalis perempuan dari UAPM Inovasi UIN Maliki. Ia dipukul dua kali dengan tongkat di leher dan betis hingga lebam. Tak hanya kekerasan fisik, ia juga mendapat pelecehan verbal bernada diskriminatif.
Tindakan aparat ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Dalam pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Namun, kekerasan terhadap jurnalis justru semakin sering terjadi.
“Ini bukan sekadar insiden biasa. Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Padahal, hak menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh negara,” tuturnya.
Selain menyerang jurnalis, aparat juga melakukan kekerasan terhadap petugas medis yang bertugas membantu korban aksi. Informasi dari LBH Pos Malang menyebutkan adanya dugaan pelecehan seksual saat aparat membubarkan posko kesehatan.
Benni menjelaskan, tindakan aparat ini jauh dari standar operasional yang seharusnya diterapkan.
“Perkap Nomor 8 Tahun 2010 sudah mengatur bagaimana prosedur pengamanan aksi demonstrasi. Tidak ada instruksi untuk menggunakan kekerasan. Jadi, sebenarnya mereka mengikuti pedoman siapa?” ujarnya.
Empat organisasi jurnalis yang tergabung dalam konstituen Dewan Pers di Malang juga menegaskan sikap mereka menolak UU TNI. Menurut mereka, undang-undang ini mencederai supremasi sipil dan berpotensi mempersempit ruang demokrasi.
“Aparat harus ingat bahwa seragam dan pentungan yang mereka pakai itu dibiayai oleh pajak rakyat. Tindakan memukul rakyat yang menyampaikan pendapat adalah pengkhianatan terhadap tugas mereka sebagai penjaga keamanan,” pungkasnya. (YD)