
KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Memaksakan anak usia prasekolah untuk sparring atau bertanding dalam nomor tarung di cabang olahraga (cabor) beladiri, dapat berdampak secara fisiologi berupa trauma otot lebih awal.
Hal tersebut disampaikan pakar olahraga, Dr. Irmantara Subagio, M.Kes dalam workshop bertajuk “Optimalisasi Prestasi Cabang Olahraga Beladiri,” Minggu (18/10/2020) yang bertempat di Rachman Club Gulat, Jalan Pahlawan Bajuri, Pakisaji, Kabupaten Malang.
“Karena prosesnya memang dipaksakan. Nah, hal ini ditakutkan bisa membentuk paradigma di masyarakat, bahwa olahraga beladiri itu berbahaya. Akibatnya, banyak orangtua yang kemudian takut memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah beladiri,” imbuh Wakil Ketua IV KONI Jawa Timur tersebut.
Menurut Kepala Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya (UNESA) itu, jika ada cabor beladiri yang memasukkan kelompok umur di bawah yunior, sebaiknya mengutamakan faktor keselamatan atlet.
“Pengelompokan kategori berdasarkan umur adalah salah satu upaya untuk menjaga keselamatan atlet. Selain itu, masing-masing cabor juga menerapkan aturan pertandingan yang berbeda-beda, semata untuk mengutamakan safety. Karena beladiri itu termasuk cabor berisiko tinggi,” tutur pria enerjik yang biasa disapa Ibag itu kepada Malang Pagi.
Lebih lanjut, Ibag mengingatkan para pelatih untuk selalu berpikir lebih panjang dalam pembinaan atlet-atletnya, atau biasa disebut long-term development plan.
“Jangan buru-buru membuat atlet yunior untuk bertanding di level senior. Ini penting. Terutama di cabang olahraga beladiri. Karena menyangkut faktor keselamatan,” jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Sambo Jawa Timur itu.
Ibag membagi fase pembinaan atlet menjadi empat tahap berdasar kelompok usia. Usia 6-10 tahun adalah masa-masa awal pengenalan cabor. Usia 11-14 tahun, atlet mulai mengasah bakat yang dimiliki, dan mulai mempertajam teknik dasar yang telah diperoleh.
“Usia 15-18 tahun adalah fase speciality. Atlet mulai memilih bidang keahlian masing-masing. Apakah ingin fokus di nomor tanding atau jurus. Sedangkan usia 19 ke atas, bisa disebut masa-masa menuai kematangan. Masa-masa yang paling potensial untuk menorehkan prestasi,” paparnya.
Ibag menuturkan, porsi latihan untuk anak-anak harus disesuaikan dan tidak membosankan.
“Banyak terjadi, anak-anak yang masuk dojo, saat remaja hilang semua (tidak aktif lagi). Mengapa? Jangan-jangan karena mereka bosan. Karena dari kecil terus melakukan sesuatu yang monoton,” kata dosen UNESA itu.
“Prinsip dasar latihan adalah harus meningkatkan kemampuan anak atau atlet. Dan itu bisa diukur. Untuk maksimalkan potensi harus menyeimbangkan antara latihan dan istirahat,” pungkasnya.
Reporter : MA Setiawan
Editor : Redaksi