
KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Beredarnya isu penarikan sertifikat analog untuk digantikan dengan sertifikat elektronik ternyata tidak hanya memicu keresahan masyarakat saja. Hal ini juga dikhawatirkan pihak Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Pihak kami juga khawatir, isu tersebut akan dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab yang mengaku petugas BPN dengan modus melakukan penarikan sertifikat analog. Hal ini tentu akan sangat merugikan masyarakat,” ujar Kepala ATR/BPN Kabupaten Malang, Laode Muhammad Asrafil Ndoasa, SH MH, Rabu (17/2/2021).
Sertifikat elektronik memang lebih memberikan jaminan otentikasi data. Dikarenakan sertifikasi secara digital dapat menunjukkan langsung pemilik sah dari sebuah dokumen.
Keunggulan lainnya, sistem yang terintegritasi pada sertifikat elektronik menjamin keutuhan data, karena bisa langsung terlihat jika ada perubahan pada dokumen yang telah ditandatangani.
Selain itu, sertifikat elektonik bisa dibilang antipenyangkalan. Karena dapat langsung dibuktikan saat penandatanganan, serta dapat menyangkal jika terjadi pemalsuan data.
Namun yang perlu diketahui masyarakat, bahwa dengan diterbitkannya sertifikat tanah elektronik, tidak otomatis sertifikat analog ditarik oleh pemerintah.
Hal tersebut didasari pasal 16 ayat 3 Peraturan Menteri ATR / Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik yang terbit pada awal tahun ini.
Dalam beleid dijelaskan, penerbitan sertifikat tanah elektronik dilakukan melalui pendaftaran tanah pertama kali untuk tanah yang belum terdaftar, atau penggantian sertifikat tanah yang sudah terdaftar sebelumnya berupa analog menjadi bentuk digital.
“Jadi saat masyarakat ingin mengganti sertifikat analog ke elektronik atau terjadi peralihan hak atau pemeliharaan data, maka sertifikat analognya ditarik oleh kepala kantor dan digantikan dengan sertifikat elektronik,” terang pria yang akrab disapa Afil.
Pemanfaatan sertifikat elektronik diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, yang menyebutkan setiap penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan sistem elektronik untuk kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan sertifikat keandalan dan/atau sertifikat elektronik.
“Beleid yang dirilis awal Januari 2021 tersebut merupakan rangkaian dari transformasi digital yang sedang bergulir di Kementerian ATR/BPN. Tahun lalu telah diberlakukan empat layanan elektronik yang meliputi hak tanggungan elektronik, pengecekan sertifikat, zona nilai tanah dan surat keterangan pendaftaran tanah,” jelas Asrafil.
Penerbitan sertifikat tanah elektronik, lanjut Asrafil, nantinya dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah pertama kali untuk tanah yang belum terdaftar. Selain itu, penggantian sertifikat analog menjadi sertifikat elektronik untuk tanah yang sudah terdaftar bisa dilakukan seperti secara suka rela datang ke kantor pertanahan atau saat jual beli dan sebagainya.
“Alasan diluncurkannya sertifikat tanah elektronik untuk mengefisienkan pendaftaran tanah dan menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Selain itu, agar dapat mengurangi jumlah sengketa, konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan dan menaikkan nilai registering property dalam rangka memperbaiki peringkat Ease of Doing Business (EoDB),” imbuh pria asal Sulawesi Tenggara itu.
Pendaftaran tanah secara elektronik ini juga diharapkan bisa meningkatkan efisiensi baik pada simpul input, proses, maupun output. Sekaligus mengurangi pertemuan fisik antara pengguna layanan dan penyedia layanan. Selain sebagai upaya meminimalisasi biaya transaksi pertanahan, hal ini juga efektif mereduksi dampak pandemi Covid-19.
Reporter : Sugiarto
Editor : MA Setiawan