![](http://malangpagi.com/wp-content/uploads/2019/04/Fotor_155461710796526-300x225.jpg)
KOTA MALANG – malangpagi.com
Ada Pernyataan menarik dan cukup keras, dari Prof. Drs. KH. Mudlor, SH (60) tentang Pemilu di Indonesia, “Sistem pemilu Orde Lama (Orla) lebih baik dari Orde Baru (Orba)” pada Dialog Regional Format Politik Pasca SU MPR 1998, pada saat di aula Ponpes Mambaul ‘Ulum’ Tambak Beras, Jombang.
Sementara Sistem Orla dinilai lebih bisa menampung aspirasi rakyat. Sedangkan, sitem pada Orba lebih banyak “mengkebiri” hak-hak rakyat. Penghapusan 5 poker undang-undang, khususnya yang menyangkut masalah pemilu, baginya, merupakan keniscayaan yang tak bisa ditunda.
Melihat esensi yang tak lagi bisa dikatakan “baru”, guru besar yang juga pendiri IAIN Malang (kini STAIN) itu mengusulkan, agar nama-nama orde yang pernah ada, diubah menjadi Orde Pancasila, sebagai upaya melebur antara Orla dan Orba.
Menurutnya, tak semua yang ada di masa Orla itu buruk. Sebaliknya, tak semua yang ada di Orba itu baik. Masing-masing ada kelemahan dan kelebihan. Di sisi lain, saat ini, masih banyak orang Orla. Untuk menjembatani berbagai silang pendapat itu, sekaligus untuk Melahirkan “orde” yang lebih baik, pengasuh Ponpes Luhur, Sumbersari, Malang, itu mengusulkan lahirnya Orde Pancasila.
Kiai yang dikenal ahli Ilmu Balaghah itu juga membenarkan adanya unjuk rasa jika diketahui benar-benar membawa manfaat. Meskipun, harus ada korban, asal tidak besar dan tidak membahayakan. Ia mengambil tamsil (dasar hukum) kapal.
Misalnya dalam sebuah kapal ada 30 penumpang, kemudian ada badai. Jika penumpang tak dikurangi, pasti kapal tenggelam. Boleh mengurangi demi menyelamatkan kapal dan penumpang mayoritas.
Dalam mengupayakan reformasi, ada kekuatan terpendam yang sebenarnya belum tergarap. Yakni, santri. Mudlor mengusulkan, agar dalam setiap unjuk rasa, mahasiswa bergabung dengan santri. Jika santri turun, akan mendapatkan kekuatan lebih. “Kalau santri turun, berarti mendapat restu, kianya. Ini akan menambah kekuatan,” tegasnya seusai dialog.
Kini Mudlor yang memangku Ponpes Luhur, Sumbersari, Malang, ingin melihat permasalahan negeri ini dari kacamata agama. Banyak kritiknya cukup pedas, beliau berkenan memaparkan. Salah satu petikannya:
Dalam agama, istilah reformasi Itu disebut apa?
Hijrah. Yang disebut hijrah adalah perpindahan dari kejelekan menuju kebaikan. Dari dhalim menuju hudan (petunjuk). Dari tertindas menuju merdeka.
Dari kacamata agama, kondisi Indonesia saat ini, apakah sudah waktunya hijrah?
Kalau kita bertahun-tahun dalam keadaan menderita, Pancasila tidak berjalan dengan semestinya, peraturan yang ada juga tidak berjalan semestinya, jika tidak segera dimulai (reformasi), tambah tahun tambah bercokol. Bercokolnya kedhaliman bertambah kuat. Reformasi boleh saja, asal tidak menimbulkan kerusakan. Para Ulama mulai tanggap. Malah mereka menyayangkan, kenapa santri kok diam? Oleh karena itu saya usulkan, gerakan ini jangan hanya gerakan mahasiswa, tapi mahasiswa plus santri.
Reformasi itu kan berubah dari satu tingkat menuju tingkat lebih tinggi. Sama dengan pembangunan, meningkatkan derajat kehidupan bangsa menuju tingkat lebih tinggi. Sedang teori (praktik)nya nanti dengan jalan radikal atau secara evolusi, itu masalah lain.
Apakah kesadaran berreformasi tidak terlambat toh pemerintah telah membuka “kran” reformasi?
Benar, pemerintah telah membawa “kran” reformasi tapi pada umumnya, konsep reformasi pemerintah ditolak para mahasiswa. Apalagi reformasi baru yang di laksanakan tahun 2003. Ini lebih ditolak lagi oleh kiai-kiai. Kalau kita sekarang melihat kemungkaran, sekarang juga harus diubah.
Kalau benar para kiai menuntut reformasi saat ini, dengan didukung santri, reformasi yang bagaimana yang diinginkan?
Minimal, DPR/MPR memuluskan secara kongkret bagaimana ‘bentuk’ reformasi di dalam pemilihan umum (pemilu). Bagaimana pula ‘bentuk’ reformasi di bidang politik dan ekonomi. Sekarang harus ditegaskan lebih dahulu. Kalau diputuskan reformasi tahun 2003, itu hanya salah satu jalan diterimanya maksud (usulan) pemerintah. Sekarang ini, (pemerintah) menerima reformasi, dan menyuruh DPR/MPR sidang untuk membuat gagasan (melaksanakan hak inisiatif).
Kalau para kiai mulai gerak, mestinya didukung santri, tapi, tampaknya santri masih diam, belum ada gerakan?
Sudah ada. Seperti gerakan di Unibraw, lalu. Di sana banyak santri ikut Misalnya dari Ponpes Miftahul Huda, Gading Pesantren, Malang. Juga dari santri Ponpes Luhur, Malang. Mereka saya tanya, katanya mau ikut unjuk rasa. Demikian pula gerakan di IAIN (STAIN) dan Unisma, dimasuki santri. Hanya saja, mereka belum berani menamakan diri ‘santri’.
Sebenarnya, kalau santri mau turun, akan lebih berwibawa, asal bergabung dengan mahasiswa. Alasannya, para santri itu dijiwai oleh amanat-amanat kiai. Kalau santri gerak, dianggap mendapat restu kiai. Kiai khususnya yang tak mendapat fasilitas-bergerak di belakang layar. (*)
Reporter: Red
Editor : Tikno