JAKARTA – malangpagi.com
Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 yang tercatat dalam data tahunan Lembar Fakta dan Poin Kunci catatan tahunan (Catahu) KOMNAS PEREMPUAN tahun 2018. Data ini membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat semakin marak dan meresahkan.
“Urusan perempuan dan anak tidak bisa dipisahkan. Perempuan dan anak merupakan kongregasi yang paling rentan terhadap tindak kekerasan. Masing-masing peristiwa kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan perempuan membutuhkan afeksi khusus agar penanganan yang diberikan tepat sasaran.” ujar Dyah Arum Sari S.S, M.Pd Ketua Departemen Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat Partai PERINDO, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Garda Rajawali PERINDO Bidang Pendidikan dan Teknologi, seusai kegiatan Konferensi Nasional bertema “Penguatan Kelembagaan Pembangunan Perempuan dan Anak Menuju Planet 50:50 Tahun 2030” yang digelar atas prakarsa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan STIAMI di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat pada, Selasa 6 Oktober 2018.
Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Menteri PPPA, Pri Budiarta, NS, M.M dan menghadirkan tokoh perempuan Wakil Ketua DPD RI, Permaisuri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Guru Besar UIT Makassar Peneliti dan Pemerhati Perempuan Prof. DR. Syamsiah Badruddin, M.Si dan juga tokoh-tokoh politik perempuan dari partai-partai peserta pemilu, organisasi dan lembaga perempuan, serta aktivis pemerhati dan peduli anak.
Terkait dengan hal kekerasan seksual terhadap perempuan dan perlindungan serta pemenuhan hak anak, Pri Budiarta mengatakan, bahwa peran fungsi pelayanan negara mengalami kekosongan. Perlu ada perbaikan-perbaikan yang sistemik dari kebijakan-kebijakan yang masih bias gender dan diskriminatif terhadap anak dan perempuan.
Sehubungan dengan itu, sebagai aktivis perempuan, Dyah pun masih menyoroti rendahnya atensi dan keberpihakan pemerintah terhadap perempuan dan anak. “Di lapangan kita temui berbagai kasus yang menunjukkan bahwa negara belum memberikan ruang yang leluasa kepada perempuan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperjuangkan keberlanjutan hidupnya,” terang dia.
Lebih lanjut dicontohkan olehnya, “Kaum perempuan masih menjadi korban diskriminasi dalam berbagai kebijakan yang dibuat institusi pemerintahan, antara lain perda-perda bias gender yang belum tuntas direvisi, belum lagi lambannya perkembangan pembahasan dan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual dan masih banyak lagi,” tambah Dyah.
Kasus faktual lainnya yang banyak terjadi dimasyarakat adalah perempuan yang melahirkan anak diluar nikah. Sebagian besar perempuan yang hamil diluar nikah memilih untuk mengaborsi janinnya daripada memilih untuk mempertahankannya, sebagian lainnya masih mempunyai nurani untuk mempertahankan darah dagingnya sendiri bahkan sebagian kecil dengan sengaja menghilangkan status ayah biologis anaknya.
“Ini fakta. Kenapa bisa terjadi, karena minimnya wawasan masyarakat terkait tahapan administratif pengurusan akte kelahiran anak, pun tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan keagamaan seseorang menjadi faktor dan landasan paling kuat sebagai upaya preventif terjadinya kehamilan atau melahirkan diluar nikah, diikuti peran orang tua yang vital, dan pengaruh pergaulan yang bebas,” tegasnya.
Apapun variabelnya, anak yang lahir di luar nikah menjadi beban psikis tersendiri baik bagi perempuan (sebagai ibu) maupun bagi anaknya dimasa yang akan datang (dewasa), kenapa demikian, karena bukan tidak mungkin terbentur pula ketika mengurus surat menyurat terkait kartu keluarga, akte kelahiran, status hukum waris dan status hukum yang lainnya kelak.
Perempuan yang mencalonkan diri dari Partai PERINDO sebagai Anggota DPR RI Dapil Jatim V Malang Raya nomor urut 7 ini menegaskan,”Hal ini menjadi PR kita bersama. Saya yakin kebijakan-kebijakan yang kurang berpihak terhadap perempuan dan anak ini adalah akibat dari tertutupnya ruang-ruang keterlibatan perempuan dalam simpul-simpul interlokusi atau dialog dan konsultasi,” tandas dia.
Di akhir argumennya, Dyah mengutip orasi Ratu Hemas yang sangat inventiv. “Bergeraklah perempuan, laki-laki tidak akan memberi, jika kita tidak merebut,” pungkasnya.
Reporter : Red
Editor : Putut