
KOTA MALANG – malangpagi.com
Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan PT NSP terus bergulir. Dewan Pertimbangan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malang, Dina Nuryati menyuarakan keprihatinan mendalam atas praktik penempatan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang dinilai sarat ketidakadilan, eksploitasi, bahkan penganiayaan.
Dina menyampaikan bahwa praktek eksploitasi terhadap CPMI masih terjadi. Dikatakannya, banyak korban yang seharusnya berangkat ke luar negeri kini terkatung-katung tanpa kepastian, bahkan mengalami tekanan psikologis yang berat.
“Kami mendapat pengaduan ini pada Maret lalu. Ada penganiayaan, eksploitasi kerja tanpa upah, bahkan pelanggaran berat yang mengarah pada perbudakan modern,” ujar Dina, Senin (28/4/2025).
Dina mengatakan bahwa pihaknya melayangkan lima tuntutan pada kasus PT NSP yang telah masuk tahap dua atau ditangan Kejaksaan Negeri Kota Malang, diantaranya,
- Menghukum berat para terdakwa Hermin Naning Rahayu dan Alti Baiquniati alias Ade
- Mendesak kepolisian untuk menangkap Rayik Purwadi alias ROY yang telah mengekploitasi PMI tanpa memberikan upah (gratis) dengan dipekerjakan di Warung Roy pukul 06.00 hingga 23.00 WIB atau 17 jam. Korban sudah di berita acara dan keterangannya bisa dibuktikan serta telah memenuhi unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
- Mendesak Kepolisian untuk menyelesaikan Proses kasus 351 (penganiayaan) dengan korban Hanifah dan tersangka Hermin Naning Rahayu sejak bulan November 2024, yang permasalahannya tidak P-21 sampai hari ini (6 bulan). Dan diduga kepolisian dari unit ranmor tebang pilih dalam penanganan nya. Sehingga menyebabkan ketidak pastian hukum sehingga Ibu dari korban Hanifah mengalami stroke bahkan koma dan sampe hari ini masih dirawat di ICU rumah sakit.
- Menolak adanya intervensi pada proses hukum yang berjalan di aparat penegak hukum baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.
- Tegakkan keadilan dan kembalikan hak-hak para korban CPMI dari tersangka Hermin Naning Rahayu dan Alti Baiquniati alias Ade.
Dina juga menekankan pentingnya pembentukan layanan terpadu satu atap di kantong-kantong buruh migran agar proses rekrutmen dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan, bukan untuk tujuan eksploitasi tersembunyi.
“Kami dari SBMI akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan. Negara harus hadir melindungi warganya,” tegas Dina.
Dalam kesempatan ini, Dina juga menjelaskan kronologi terjadinya kasus tersebut. Sebanyak 47 calon pekerja migran menjadi korban dalam kasus ini. Mereka direkrut untuk bekerja di Hongkong, namun setelah menyerahkan dokumen asli seperti KTP, KK, ijazah, dan akta kelahiran, mereka justru ditahan dan dieksploitasi.
“Setelah penggerebekan oleh pihak kepolisian, pemberangkatan mereka dibatalkan. Para korban kini menuntut ganti rugi sebesar Rp15 juta per orang atas kerugian materiil dan waktu yang terbuang,” ungkapnya.
Sementara itu, salah satu korban asal Malang, Hanifah mengaku mengalami kekerasan fisik saat bekerja di rumah pelaku. Hanifah menceritakan bahwa dirinya dipaksa mencium kencing anjing, disiram mie panas, hingga disiram kopi panas.
“Saya hanya ingin keadilan. Enam bulan lebih proses hukum berjalan tapi belum juga P21,” ujarnya.
Di tempat yang sama, korban asal Palembang, Lia menuturkan bahwa teman-temannya dipaksa bekerja di warung milik suami Hermin yaitu, Rayik Purwadi selama 17 jam sehari tanpa upah. Mereka juga dipaksa mengupas hingga 20 kilogram bawang per orang.
“Kami diperlakukan seperti budak. Tidak digaji, hanya takut kalau tidak diberangkatkan ke luar negeri,” jelasnya.
Akibat kasus ini, Lia mengalami tekanan ekonomi berat, terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan upah Rp 1 juta per bulan untuk membiayai keluarganya.
Ia berharap pihak berwenang menghukum para pelaku dengan seberat-beratnya. “Kami sudah berjuang keras. Tolong jangan biarkan kasus ini hilang begitu saja,” tandasnya. (YD)