
KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Bedah Kitab Pararaton seri ke-8 yang digelar pada Sabtu (26/9/2020) lalu terasa spesial. Acara menghadirkan juru bedah sejarawan dan arkeolog, M. Dwi Cahyono dan dipandu presenter budaya, Wibie Suryomentaram mampu menggugah antusiasme peserta diskusi yang bertempat di Rumah Makan Ndalem Ratu Singosari Malang
Seluruh peserta diskusi tampak mengenakan pakaian adat Jawa. Karena memang tema yang diangkat adalah tentang sosok Ken Dedes. Terlihat di antara tamu yang hadir, serombongan perempuan berkebaya dan bersanggul.
Juga hadir rombongan dari suku Tengger, Desa Mojorejo Tosari, Pasuruan, yang di salah satu sesi acara turut membacakan mantra-mantra doa. Hadir pula dalang wayang kulit, Ki Ardi Purbo Antono yang turut memberikan beberapa ulasan.
Dalam diskusi tersebut dijelaskan tentang berbagai jenis sanggul beserta pemakaiannya.
Sanggul merupakan sesuatu yang lumrah dan selalu dipakai dalam keseharian perempuan zaman dulu. Di antara jenis-jenis sanggul yang beragam, sejatinya ada beberapa macam sanggul asli Jawa yang memiliki makna tersendiri.
Salah satu contoh yaitu sanggul Ukel Konde yang berasal dari Solo, Jawa Tengah. Putri Solo, baik saat remaja maupun dewasa, pada umumnya berambut panjang. Namun, saat mereka hendak melakukan suatu kegiatan, mereka akan menyanggul rambutnya membentuk konde.
Sanggul Ukel Konde sering dipakai saat acara resmi di Indonesia, dan merupakan sanggul tradisional yang digemari hingga sekarang.
Selain itu, ada jenis sanggul Ukel Tekuk yang umumnya digunakan di lingkungan Keraton Jogja. Mulai dari permaisuri, selir, putri raja, hingga para inang pengasuh atau emban.
Sanggul Ukel Tekuk bentuknya hampir mirip dengan sanggul Ukel Konde. Bedanya hanya di penggunaan aksesori dan model pakaian yang dikenakan.
Wanita yang memakai sanggul jenis artinya ia telah beranjak dewasa. Sanggul Ukel Tekuk melambangkan seorang gadis ibarat bunga yang baru mekar. Karena telah beranjak dewasa, diharapkan ia mampu memikul tugas dan tanggung jawab, serta telah layak menjadi seorang ibu.
Ada lagi jenis sanggul Ukel Ageng yang merupakan sanggul resmi atau kebesaran. Bentuknya memanjang seperti kupu tarung. Bagi remaja putri, sanggul tersebut dipakai dengan sematan pandan. Sedangkan bagi perempuan dewasa, sanggul Ukel Ageng dipadukan dengan bunga mawar dan kenanga. Untuk wanita bersuami, sanggul dipakai dengan hiasan bunga mawar teluk melati.
Masyarakat Jawa zaman dulu meyakini, kupu-kupu yang hinggap di rambut (khususnya kupu-kupu kuning) merupakan pertanda rezeki dan kebahagiaan akan menghampiri si pemilik rambut.
Jenis sanggul lain adalah sanggul Bokor Mengkurep, yang biasanya dipakai oleh pengantin wanita. Bentuknya menyerupai bokor menelungkup.
Sanggul diisi dengan irisan daun pandan kemudian dirajut. Lantas ditutup dengan rajutan bunga melati. Perpaduan pandan dan melati akan menebarkan aroma religius. Diharapkan pengantin wanita dapat membawa nama harum dirinya dan bermanfaat bagi masyarakat.
Reporter : Christ
Editor : MA Setiawan