
KOTA MALANG – malangpagi.com
Klojen (Klodjen), nama yang tidak asing di telinga warga Kota Malang. Kecamatan yang terletak di tengah kota ini dikenal sebagai wilayah pusat pemerintahan. Klojen sendiri berasal dari kata loge atau loji (kelojian, kelodjen), yang berarti gedung besar.
Diceritakan oleh Dwi Cahyono dalam buku Malang Telusuri Dengan Hati, bahwa pertama kali Belanda memasuki wilayah Malang pada tahun 1767, sebagai pelarian dari kejaran Malaya Kusuma yang merupakan cucu dari Untung Suropati.
Saat itu bentang alam Malang masih berupa hutan belantara diapit sungai Brantas, Bango, dan Amprong. Selain itu wilayah ini juga dikelilingi empat gunung, yaitu Semeru, Tengger, Arjuna, dan Kawi.
Kondisi wilayah ini memicu Belanda untuk membangun benteng, dengan pertimbangan Sungai Brantas dapat dijadikan jalan keluar apabila terjadi penyerangan.
Tahun 1821, Belanda mulai membangun loji di luar benteng, dan mulai memberanikan diri membuat permukiman di sekitar loji. Tidak mengherankan jika di wilayah Klojen kemudian banyak ditemukan permukiman dengan gaya arsitektur Belanda.
Dalam bukunya Menciptakan Masyarakat Kota: Malang di Bawah Tiga Penguasa 1914-1950, Reza Hudiyanto menyebutkan bahwa pada 1870an terbentuk hubungan antara orang Belanda dan Indonesia yang mencerminkan budaya seimbang. Sebagian mengandung unsur Belanda, sebagian mengandung unsur Indonesia.
Adanya undang-undang desentralisasi pada 1903, disusul keputusan desentralisasi pada 1905, menjadikan Malang membentuk sebuah Gemeente (Kotamadya) dengan Staatsblad Nomor 297 tanggal 1 April 1914.
Perubahan status Malang dari Kabupaten dengan Karesidenan Pasuruan menjadi sebuah kota, membuat Malang berkembang secara menakjubkan. Dengan tatanan wilayah yang dirancang secara teratur malalui Bouwplan I hingga VIII. Tak pelak migrasi besar-besaran terjadi dengan pertambahan penduduk Belanda. Fase inilah disebut fase kolonial.
“Fase Kolonial terjadi sekitar 1900an. Saat itulah kebijakan pintu terbuka ditetapkan oleh pemerintah Belanda, dengan memberikan peluang lebih luas bagi para petualang Eropa untuk mengadu nasib ke Indonesia,” jelas arsitek sekaligus pemerhati sejarah, Arief DKS saat ditemui di kedai kopi Klodjen Jaya, Sabtu (17/4/2021).

Pria yang tergabung dalam komunitas Old Photo Malang ini menambahkan, kedatangan orang Belanda membawa serta keluarganya merupakan dampak dicabutnya ketentuan migrasi Eropa pada tahun 1870, yang melarang wanita ikut menyertai suami untuk tinggal di pos-pos VOC.
Tak pelak, kebijakan ini menjadikan Belanda semakin berkuasa dan hidup berkoloni dengan mendirikan permukiman di area-area strategis, salah satunya di wilayah Klojen.
Bentuk bangunan dengan karakteristik kuat tampak ditonjolkan pada fasad simetris, dinding tebal dengan desain arsitektur yang begitu teliti dan beratap sedikit melengkung. Bentuk jendela relatif besar yang dapat memudahkan sirkulasi udara merupakan adaptasi Belanda dengan penyesuaian iklim tropis.
Peninggalan arsitektur kolonial mengandung nilai historis yang cukup tinggi, serta menjadi bukti bahwa orang Belanda pernah tinggal dan berkuasa di Kota Malang.
Selain itu, bangunan berarsitektur Belanda memberi nilai tambah identitas Malang sebagai Kota Kolonial, yang dapat mewujudkan Malang City Heritage seperti digaungkan selama ini.
Tentu perlu adanya pelestarian dan perhatian serius dari Pemerintah Kota Malang, salah satunya dengan penegakan Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya, agar lebih ‘bertaring’. Sehingga julukan Malang City Heritage bukan hanya slogan, namun diimplementasikan dalam wujud nyata.
Reporter : Hariani
Editor : MA Setiawan