KOTA MALANG – malangpagi.com
Membaca sejarah memerlukan keseriusan untuk memahami arti yang tersirat tersurat tersurat di dalamnya. Sehingga pembahasan sejarah sering terkesan berat dan membosankan. Tidak mengherankan, jika kemudian generasi muda merasa ogah-ogahan membaca buku tentang sejarah.
Namun di tangan komikus Aji Prasetyo, pembahasan sejarah yang berat mampu ditafsirkan melalui konten komik, dengan bumbu-bumbu komedi tetapi sarat akan riset, literatur, dan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Komik saya akhir-akhir ini memang banyak bercerita tentang sejarah. Terutama mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitaran awal berdirinya Mataram. Bagi saya itu sangat menarik,” ungkap Aji, saat menjadi narasumber dalam Webinar Bincang Buku Urip Iku Urub, yang mengusung tajuk “Konten Sejarah Kok Berat? Komikkan Saja”, Sabtu (14/5/2022).
“Saya menggambarkan semua itu dalam konten komik yang lucu, dengan memutar otak bagaimana menerjemahkan Babat Tanah Jawi yang menuliskan kisah-kisah sejarah tersebut, dalam bentuk yang unik dengan menitipkan fakta-fakta sejarah melalui metafora,” imbuhnya.
Peraih Kosasih Award 2016 kategori Komik Pendek Terbaik berjudul Harimau dari Madiun itu menerangkan, dirinya sengaja mengilustrasikan cerita sejarah dalam bentuk berbeda dan kekinian, agar mampu menarik minat generasi muda akan sejarah tanah air. “Mampukah kita memancing para generasi muda tetap bertahan dan penasaran dengan cerita sejarah jika tidak dikemas seperti ini?” ucap Aji.
Dalam sebuah komiknya, pria kelahiran Pasuruan 11 Desember 1976 itu menceritakan secara gamblang tentang konflik air kelapa antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, yang sering ditampilkan dalam pertunjukan ketoprak.
“Dalam ketoprak, konflik air kelapa ini dikisahkan benar-benar air kelapa. Namun anak sekarang lebih kritis berpikir. Apakah mungkin hanya berebut air kelapa, dua orang tunggal guru ini harus berkonflik sampai urusannya akan menurunkan raja-raja Jawa. Ini metafora seperti apa kira-kira?” tutur Aji.
Melalui komiknya, Aji pun mampu menggiring pembaca untuk mencermati dialog dari metafora tersebut. Bahwa ternyata air kelapa itu sejatinya adalah sebuah simbol dari seorang perempuan. “Penggambaran ada skandal di situ. Di mana Ki Ageng Pemanahan ‘mencicipi’ air kelapa, alias istri dari Ki Ageng Giring. Ini menjadi masuk akal. Karena masa sih, hanya berebut air kelapa saja sampai menimbulkan konflik,” jelas pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Malang [kini Universitas Negeri Malang] tersebut.
Aji pun menjabarkan metafora menarik lainnya. Yaitu saat Ia menggambarkan sosok Pangeran Purbaya, yang dalam Babat Tanah Jawi awalnya dikenal sebagai Joko Umbaran. “Tokoh ini adalah anak Panembahan Senopati dari istrinya, yang merupakan putra Ki Ageng Giring. Di mana banyak yang kemudian berspekulasi bahwa itu adalah hasil skandal dari air kelapa tadi,” bebernya.
Suatu ketika Joko Umbaran mulai sadar dan menanyakan siapa ayahnya. Karena terus didesak, ibunya kemudian menceritakan bahwa ayahnya adalah Panembahan Senopati. Dirinya pun latas menghadap ayah biologisnya tersebut, dan meminta sebuah pengakuan. “Ayahnya pun berkata bahwa dirinya pernah menitipkan keris berwarangka kayu Purwasari. Jika benar keris itu masih, ada maka Ia akan diakui sebagai anak,” cerita pria berkacamata yang sangat menggemari kopi itu.
Aji menyebutkan, Pangeran Purbaya yang merupakan gelar Joko Umbaran, sering muncul di Babat Tanah Jawi. Hal ini menunjukkan bahwa Ia adalah seorang tokoh yang sangat penting. “Melalui metafora ini, kisah Joko Umbaran dan Panembahan Senopati menjelaskan tentang posisi Amangkurat I, kondisi Mataram, dan pemberontakan-pemberontakan lainnya yang terjadi,” beber seniman yang tergabung dalam Lesbumi PBNU itu.
“Melalui rentetan peristiwa bagaimana leluhur kita mengisahkan perjalanan dalam bentuk sastra, memasukkan metafora, dan simbol-simbol, barulah dapat ditarik benang merah agar kita dapat memahaminya. Di situlah menariknya, dan komik menjadi salah satu alternatif bagaimana cerita sejarah dapat dikemas apik dan tidak membosankan,” terang Aji.
Komikus yang memulai karier ngomiknya sejak 2006 itu memang dikenal kritis dan berani. Tak jarang Aji memasukkan narasi kritis dalam komik-komiknya, mengupasnya dalam parodi satir ‘kebejatan’ tokoh-tokoh di masa lalu, yang Ia angkat dalam komik berjudul Konflik Darah dan Lendir di Masa Mataram Islam (2021). Tentunya, karyanya kemudian mendapatkan kritikan pedas.
“Mendapatkan teguran sih pasti. Di sini saya memparodikan tindakan atau peristiwa-peristiwa amoral tokoh yang dikuduskan. Tapi, saya berpikirnya kenapa kita mesti malu? Wong di Babat Tanah Jawi sudah ditulis kok,” tuturnya.
Lebih lanjut, Aji mengungkapkan bahwa di Babat Tanah Jawi sering ditulis peristiwa-peristiwa yang sejatinya adalah aib. “Skandal pun perlu diceritakan. Apalagi jika itu mempengaruhi jalannya sejarah dan politik. Makanya ada metafora air kelapa tadi. Karena memang berpengaruh pada jalannya sejarah,” sebutnya.
Menurut Aji, sejarah itu dinamis dan bagi para pengritik itu adalah perbedaan pandangan. “Frame sejarah itu dinamis dan kita tidak hidup pada zaman itu. Jadi biarkan kami membongkar atau mengupas sisi positif dan negatif, dan itu merupakan cermin agar kita dapat menghadapi konflik sejarah itu seperti apa. Dari itulah kami berkaca,” tegasnya.
“Kami butuh truth, bukan post-truth. Kami butuh kebenaran bukan kebenaran yang diinginkan. Kata Profesor Pater Carey, ungkapkan kebenaran itu walaupun belum tentu menyenangkan banyak orang,” pungkas Aji. (Har/MAS)