
KOTA MALANG – malangpagi.com
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, kemunculan bendera bertema One Piece yang dikibarkan berdampingan dengan bendera Merah Putih menuai perhatian publik. Sejumlah tokoh menilai, tindakan tersebut berpotensi melanggar aturan terkait simbol negara.
Salah satu sorotan datang dari Prof. Dr. Sidik Sunaryo, M.Si., M.Hum., Sekretaris Universitas sekaligus pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ia menilai bahwa pengibaran bendera One Piece secara bersamaan dengan bendera negara perlu ditinjau secara hukum dan etika kebangsaan.
“Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sang Saka Merah Putih, bukan hanya sekadar kain berwarna merah dan putih. Ia adalah simbol kedaulatan dan kehormatan bangsa yang tidak boleh dikurangi maknanya,” tegas Prof. Sidik, Selasa (5/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa istilah Sang Saka merujuk pada bendera asli yang dijahit oleh Ibu Fatmawati dan dikibarkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Bendera merah putih ini merupakan simbol dari kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat, serta representasi kehormatan dan harga diri bangsa,” jelasnya.
Menurut Prof. Sidik, meskipun undang-undang memperbolehkan organisasi membuat dan mengibarkan bendera sendiri, terdapat aturan ketat mengenai penempatannya. Bendera organisasi, ormas, ataupun partai politik tidak boleh dikibarkan lebih tinggi atau lebih besar dari bendera Merah Putih. Bahkan, pengibaran dalam satu tiang dengan Merah Putih pun dilarang.
“Dalam konteks ini, jika bendera One Piece dikibarkan bersamaan dan dalam satu tiang dengan Merah Putih, meskipun di bawahnya, tetap berpotensi dianggap mereduksi makna simbolik dari Sang Saka,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prof. Sidik mempertanyakan legalitas dan identitas dari pihak pengibar bendera tersebut. Selain itu, ia juga menanggapi argumen bahwa One Piece dianggap sebagai simbol perdamaian.
“Kalau benderanya One Piece, itu kan bukan organisasi yang sah, itu karakter fiksi. Lalu apa dasar hukumnya dikibarkan berdampingan dengan bendera negara” tuturnya.
“Kalau perdamaian, kita sudah punya Merah Putih sebagai simbol. Jika tidak ada dasar yang jelas, maka motif di balik pengibaran bendera ini layak dipertanyakan,” imbuh Prof. Sidik.
Prof. Sidik mengingatkan bahwa aturan tentang bendera negara telah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Di dalamnya tercantum larangan keras atas segala bentuk penyalahgunaan simbol negara.
“Jika terbukti melanggar, pelaku dapat dikenai sanksi pidana hingga 5 tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta. Jadi, masyarakat perlu bijak dalam mengekspresikan kreativitas, terlebih dalam momentum sakral seperti Hari Kemerdekaan,” pungkasnya. (Dik/YD)