KOTA MALANG – malangpagi.com
Temaram lampu menghiasi Taman Tugu Kota Malang. Pohon-pohon trembesi berusia puluhan tahun tampak kokoh dan angkuh menyiratkan pancaran wibawa. Taman yang terletak di pusat kota, dan berada tepat di depan Balaikota Malang, menjadikannya taman yang dinamai Alun-alun Bunder tersebut mudah dikenal.
Dalam buku berjudul Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang: Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan, yang ditulis Purnawan Basundoro, disebutkan bahwa pembangunan kompleks Alun-alun Bunder didasari atas ide gabungan antara konsep city garden dan mandala dalam kota-kota di Jawa. “Konsep city garden mulai diadopsi oleh para arsitek Eropa, yang terlibat dalam berbagai perencanaan kota-kota di Indonesia pada awal abad ke-20. Konsep ini secara esensial ingin menjadikan kota sebagai sebuah keindahan,” tulis Basundoro.
Gagasan city garden di Malang dibawa oleh Thomas Karsten, seorang konsultan perencanaan kota, yang memandang bahwa keindahan kota bukan sekadar perhiasan atau sesuatu yang ditambahkan oleh manusia. Namun, keindahan kota harus mengalir dengan sendirinya, dari perencanaan secara keseluruhan dan terlihat pada bagian-bagian detailnya.
“Rancangan Alun-Alun Bunder dimaksudkan untuk membuat keindahan baru di Kota Malang, dan kekuatan utamanya terletak pada pemandangan gunung-gunung di sekitarnya. Seperti Gunung Kawi, Semeru, dan Arjuna,” jelas Basundoro
Lebih lanjut, Ia menulis bahwa Karsten tidak hanya menerapkan imajinasi city garden ke dalam Alun-alun Bunder. Tetapi juga memasukkan prinsip mandala dalam kota-kota di Jawa, yaitu konsep makrokosmos dan mikrokosmos, yang berpedoman pada keempat arah mata angin menjadi satu desain alun-alun.
Menurut Basundoro, Karsten tampaknya ingin memperbaiki desain alun-alun kota yang salah arah. “Karsten ingin mendesain kota kolonial. Namun Ia tidak dapat menghindar dari kearifan lokal. Desain Alun-Alun Bunder menegaskan bahwa pusat kekuasaan yang tertuang dalam desain kawasan Balaikota telah disiapkan sejak jauh hari,” terangnya.
“Desain dasar yang dibuat oleh Karsten untuk kawasan Alun-Alun Bunder memang merujuk pada Keraton Jawa. Namun tetap saja Alun-Alun Bunder merupakan kawasan Eropa,” papar Basundoro
Nama Alun-Alun Bunder menjadi Jan Pieterszoon Coen Plein, yang adalah sosok Gubernur Jenderal periode awal datangnya bangsa Belanda di Indonesia. “Dengan menjadikan nama Coen menjadi nama alun-alun ini, Belanda berharap wibawa JP Coen sebagai Gubernur Jenderal akan memancar,” paparnya.
Diakui Basundoro, wibawa itu memang benar-benar muncul. “Rakyat pribumilah yang berada dalam pancaran wibawa itu. Sehingga tidak ada satu pun aktivitas rakyat pribumi dilangsungkan di alun-alun ini,” ungkapnya.
Saat Belanda berkuasa dan digantikan oleh pendudukan Jepang, Alun-Alun Bunder masih berdiri kokoh. Hingga usai proklamasi dikumandangkan, dan kawasan ini menjadi milik rakyat Malang, maka dibangunlah tugu kemerdekaan di tengah Alun-Alun Bunder, sebagai tetenger atas hak tersebut.
Peletakan batu pertama pembangunan tugu kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1946. “Pembangunan tugu tesebut dalam keadaan 95 persen terpaksa dihentikan, lantaran adanya agresi militer Belanda yang pertama. Pendirian tugu kemerdekaan di tengah-tengah Alun-alun Bunder ini memunculkan imajinasi kemerdekaan yang amat dalam pada diri rakyat,” sebut Basundoro.
Untuk menghancurkan imajinasi arek Malang tersebut, pada 23 Desember 1948, tugu kemerdekaan dihancurkan oleh militer Belanda. Penghancuran ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian antara Belanda dan warga Malang.
“Dengan perjuangan dan semangat arek Malang, pada 9 Juni 1950 tugu kemerdekaan dibangun kembali, dan diresmikan oleh Presiden RI, Ir Soekarno pada 20 Mei 1953. Saat masa Orde Baru, Pemerintah Kota Malang mengurung seluruh area alun-alun dengan pagar beton,” beber Basundoro
Sementara itu, pemerhati sejarah, Arief mengatakan bahwa sejak awal pembangunan Alun-Alun Bunder tidak difungsikan sebagai alun-alun sebagaimana mestinya. “Belanda menyebut alun-alun hanya yang kotak, yakni yang berada di Jalan Merdeka Selatan. Dan yang bundar di depan Balaikota Malang disebut sebagai JP Coen Plein, atau Taman JP Coen,” ungkap Arief kepada Malang Pagi, Senin (5/9/2022)
Dirinya menyebutkan, Herman Thomas Karsten membangun Taman JP Coen ini adalah untuk taman kota. “Sejak BouwpIant I hingga VIII, rancangan kota yang dilakukan oleh Karsten berkonsep taman kota, dan rumah-rumahnya berkonsep villa park,” jelas Arief. (Har/MAS)