KOTA MALANG – malangpagi.com
Meskipun gelaran Festival Kuliner dan Wisata Jajanan Tradisional UMKM Jawa Timur telah usai pada 6 Februari lalu, banyak wawasan dan pengetahuan yang didapat oleh peserta maupun pengunjung hinga hari terakhir event yang mengusung tema “Eksistensi UMKM Menembus Perubahan Zaman” tersebut.
Dalam sebuah acara talkshow “Dialog Literasi Kebudayaan”, kolaborasi Ijo Ireng 99 dan APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia) yang dihelat di lantai dua gedung Sarinah Malang, Jalan Basuki Rahmat, dibahas sejarah pecinan atau lokasi eksodus cina peranakan di Malang. Kegitan ini sengaja digelar bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek 2573, yang jatuh pada 1 Februari lalu.
Guna mengulik lebih dalam tentang budaya peranakan, Manajer Department Store BUMN Sarinah Malang, Agus Sunaryo mengundang sejarawan Dwi Cahyono, untuk menjabarkan kronologi peradaban keturunan Tionghoa menginjakkan kaki di Malang dan membentuk pusat perdagangan pertama di kota ini.
“Malang dulu dikenal sebagai Katumenggungan Malang, dan memiliki Alun-Alun Katumenggungan. Adapun pasarnya yaitu Pasar Kebalen. Utara Klenteng sampai ke timur, Pasar Kebalen adalah pasar besarnya Katumenggungan,” buka Dwi.
“Sepanjang jalan, mulai dari Buk Gluduk sampai sekitar Stasiun Kotalama merupakan kawasan Pecinan Besar. Lantas mengapa orang-orang Cina awal memilih tinggal di Boldy? Karena Boldy adalah pusat pemerintahan. Di situ ada pasar dan klenteng yang berada di lokasi strategis, di perempatan besar pada zamannya,” lanjut dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang (UM) itu.
Dwi juga menjelaskan alasan mengapa terdapat pemakaman Cina di Kuthobedah [timur sungai]. Hal tersebut dikarenakan kampung cina terletak di seberang atau bagian barat sungai. “Jadi orang-orang Cina di Boldy sudah hadir di Malang sejak 1870-an,” tambahnya.
Dipaparkan Dwi, lambat laun terjadi pegeseran ke arah barat, sehingga memunculkan kawasan baru yang disebut Pecinan Kecil. “Bukan karena untuk memperluas pemukiman atau penambahan jumlah penduduk. Namun terkait dengan perubahan pemerintahan, dari Katumenggungan Malang menjadi Kabupaten Malang,” beber pria yang juga dikenal sebagai seorang arkeolog itu.
Dirinya mengungkapkan, pada awalnya Alun-Alun Kabupaten Malang berada tepat di depan Pendopo Kabupaten. Kawasan tersebut sekarang berubah area pusat perbelanjaan.
“Dulu yang namanya pecinan disebut Pecinan Kecil, dan sekarang disebut Pasar Besar. Kalau feeling saya, gerbang pecinan ada di sebelah selatan Gaden [pegadaian], perempatan yang sekarang antara Jagalan dan arah masuk Pecinan, yang kalau terus akan menuju ke Klenteng [Eng An Kiong],” sebutnya.
Dwi menduga bahwa gerbang pecinan di Malang tidak hanya satu. “Ada gerbang untuk memasuki pecinan, yang kemudian dibuat duplikatnya oleh Dinas Pariwisata di Lonceng. Namun sangat jelek,” selorohnya, disambut gelak tawa seluruh peserta talkshow.
“Kawasan Pecinan menjadi kawasan yang sangat luas, mengikuti dinamika pemerintahan dan ekonomi. Di era Pecinan Besar, dagangan utamanya adalah hasil bumi. Karena perkebunan di Malang bagian barat, mulai 1700-an akhir sudah mulai berkembang. Seperti kopi, kakao, dan teh,” tandasnya.
Talkshow ditutup dengan pertunjukan Barongsai dari Klenteng En Ang Kiong, dengan puncaknya berupa pemberian sebaki jeruk sebagai simbol keberuntungan kepada Manajer Sarinah Malang, Agus Sunaryo. (Tanto/MAS)