
KOTA MALANG – malangpagi.com
Penandatanganan Peraturan Daerah (Perda) Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) Kota Malang menuai sejumlah catatan kritis, khususnya dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Kota Malang.
Dalam rapat paripurna pengesahan perda tersebut, Fraksi PKB memilih bersikap abstain dengan menyampaikan sejumlah alasan substansial, terutama menyangkut perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan warga kurang mampu.
Ketua Fraksi PKB, Saniman Wafi, menjelaskan bahwa pihaknya sejak awal telah mengusulkan batas omzet bebas pajak untuk pelaku usaha makanan dan minuman berada di angka Rp25 hingga Rp30 juta per bulan. Namun, lanjutnya, hasil akhir Pansus menyepakati batas tersebut pada angka Rp15 juta, yang dinilai masih membebani pelaku usaha mikro seperti penjual bakso, nasi goreng, dan PKL lainnya.
“Kalau di angka Rp15 juta, artinya sehari omzetnya Rp500 ribu. Itu omzet, bukan laba. Banyak PKL di pinggir jalan bisa masuk kriteria itu dan kena pajak. Padahal, dari awal kami minta agar PKL itu zero pajak,” tegas Saniman, Rabu (12/6/2025).
Menurutnya, penetapan batas omzet di angka Rp25 juta masih sangat logis jika sasaran pajak diarahkan ke sektor menengah ke atas seperti restoran dan kafe.
Ia juga meminta agar perlindungan terhadap PKL benar-benar dijamin melalui Peraturan Wali Kota (Perwal), dengan mencantumkan secara eksplisit bahwa PKL bukan objek dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
“Kami sudah sampaikan itu secara lisan maupun tertulis, bahkan di bagian penjelasan perda pun kami dorong agar hal ini dicantumkan,” terangnya.
Tak hanya soal pajak usaha, Fraksi PKB juga menyoroti kenaikan signifikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2023, tarif PBB ditetapkan sebesar 0,055 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun dalam Perda PDRD yang baru, tarif ini melonjak menjadi 0,2 persen.
“Ini kenaikan yang sangat drastis. Banyak masyarakat kecil yang tidak sanggup membayar. Selama ini saja, masih banyak warga yang nunggak sampai enam tahun. Seharusnya bukan menaikkan tarifnya, tapi dicari tahu dulu faktor penyebab tunggakan itu apa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Saniman juga mempertanyakan penggunaan pendekatan single tarif, yang menurutnya tidak wajib secara regulasi nasional.
“Kalau itu hanya rekomendasi dari Kemendagri, seharusnya bisa disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan,” ucapnya.
Terkait sikap abstain PKB, Saniman menegaskan bahwa hal itu diambil agar catatan-catatan mereka dapat menjadi bahan evaluasi Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, yang akan melakukan telaah lebih lanjut sebelum Perda diundangkan.
“Kami sudah langsung koordinasi dengan pimpinan dewan agar catatan ini dikirim sebagai pertimbangan ke provinsi. Karena kami tetap konsisten membela masyarakat kecil,” pungkasnya. (YD)