
KOTA MALANG – malangpagi.com
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Penyandang Disabilitas Usia Dewasa, yang diterbitkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017, disebutkan pengertian bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama.
Di mana dalam berinteraksi dengan lingkungan, mereka mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Ragam disabilitas meliputi disabilitas sensorik, disabilitas fisik, disabilitas intelektual, dan disabilitas mental. Seorang penyandang disabilitas dapat mengalami satu atau lebih ragam disabilitas dalam waktu bersamaan.
Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi, pikir, emosi dan perilaku lainnya. Salah satu yang tergolong disabilitas mental adalah skizofrenia .
Menurut Kepala Instalasi Keswamas dan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, dr. Endy Nurhayati, Sp.KJ, skizofrenia berasal dari bahasa latin yang berarti kondisi gangguan jiwa berat dalam menilai realita.
Seseorang dengan gangguan skizofrenia sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Salah satu gejalanya yaitu halusinasi, waham, atau delusi. Yakni penderita meyakini sesuatu yang tidak wajar dan aneh.
Kepada Malang Pagi, wanita berhijab yang kerap disapa Dokter Endy itu memaparkan berbagai faktor penyebab skizofrenia. “Penyebab utama skizofrenia itu multifactorial. Ada faktor biologis atau keturunan, ada faktor psikologis seperti ciri kepribadian dan mekanisme coping, ada faktor sosial atau stressor sosial, serta stres atau gangguan psikis yang berat,” papar Endy, Minggu (26/12/2021).
Menurutnya, awal gejala skizofrenia biasanya timbul perlahan dan tidak mudah dikenali. “Tanda-tanda awal yang bisa dideteksi berubah dari keadaan biasanya. Biasanya mudah tidur sekarang sulit tidur, mudah curiga, cenderung depresi, cemas, mudah marah, dan perasaannya mudah berubah. Selain itu kerap terjadi gangguan dalam pekerjaan atau sekolah, penarikan diri dari kehidupan sosial, lebih sulit konsentrasi atau mengingat, timbul pikiran yang tidak wajar, dan tanda yang dapat dikenali sudah mengarah ke halusinasi atau waham,” bebernya.
“Jika adanya perubahan itu, pihak keluarga harus aware, dan biasanya baru menyadari terjadi keanehan pada saat penderita mengalami serangan akut (mendadak),” imbuh Endy.
Gejala yang timbul pada saat akut antara lain gaduh, gelisah, tidak dapat tenang, dan selalu ada keinginan untuk bergerak. “Pikiran kacau dan alur bicaranya sulit dimengerti. Biasanya penderita saat berbicara sering berpindah dari topik satu ke topik lainnya, yang tidak ada hubungannya sama sekali. Penderita pun mengalami paranoid berlebihan,” terangnya.
Dokter Endy menyebut bahwa semua usia dapat mengalami skizofrenia. Namun rata-rata terjadi pada usia 20 hingga 50 tahun. Selain itu, dirinya pun menerangkan jika penderita skizofrenia dapat membaik, dengan pengobatan cepat dan benar.
“Penderita akan dapat berpikir dengan lebih baik, dan pikiran serta perilaku aneh akan hilang, jika ditangani dengan cepat dan benar. Karena salah satu terapinya adalah dengan obat ditunjang dengan terapi lain, seperti psikoterapi dan rehabilitasi. Kemungkinan besar penderita akan mengalami satu kali serangan kemudian membaik selamanya. Namanya pulih dengan terapi,” jelasnya.
“Namun ada pula sebagian penderita sembuh dari serangan, tapi kemudian kambuh beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun kemudian. Hal ini biasanya terjadi pada penderita yang memutus pengobatan sendiri tanpa berkonsultasi dengan dokter yang menangani,” ungkap Endy.
Perempuan paruh baya itu mengatakan, ada sebagian kecil penderita skizofrenia yang tidak menunjukkan perbaikan berarti setelah diobati. “Keadaan ini lantaran penderita terlambat dibawa ke dokter. Sehingga tidak responsif lagi terhadap obat, atau tidak mendapat pengobatan yang benar. Mungkin akan berlangsung lama, karena itu disarankan supaya penderita terus berkonsultasi dengan dokter spesialis jiwa atau psikiater. Atau bisa juga kepada dokter keluarga terdekat,” pungkasnya. (Har/MAS)