KOTA MALANG – malangpagi com
Selama hampir dua pekan terakhir, Gunung Semeru yang merupakan gunung berapi tertinggi di pulau Jawa mengalami erupsi. Sebagai dampaknya, terjadi bencana kegunungapian yang menelan tak sedikit korban jiwa dan harta, serta menyisakan duka bagi warga sekitar.
Peristiwa erupsi Gunung Semeru tak luput dari perhatian dari Direktur Jasa Tirta, Raymond Valiant. Pria penyuka sejarah itu mengatakan, gunung yang memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut tersebut termasuk jenis gunung vulkanik paling aktif di Indonesia.
Menurut Siswowidjoyo (1997), letusan Semeru terjadi hampir setiap tahun, dengan intensitas beragam. Dan letusan paling awal yang dicatat secara ilmiah adalah pada 1841.
“Tipe letusan Semeru adalah model stromboli, yang menghasilkan ekstrusi lava mengalir khususnya ke timur, tenggara, dan selatan dari puncak gunung tersebut, melalui beberapa celah sepanjang lereng gunung tersebut,” papar Raymond kepada Malang Pagi, Rabu (15/12/2021).
“Nama celah-celah itu antara lain Sat, Besuk, Rejali, Glidik, dan Kobokan. Jalur lava dari puncak gunung itu relatif tidak stabil. Dan bila keseimbangannya terganggu, maka akan runtuh dalam bentuk aliran piroklastik ke arah timur, tenggara, dan selatan,” rincinya.
Raymond menjelaskan, jalur lahar dari Gunung Semeru cukup banyak.
“Jalur lahar Gunung Semeru ini hampir seluruhnya mengarah ke timur, tenggara, dan selatan puncak gunung. Peta berikut ini adalah hasil analisis Surjo (1986, yang dikutip Siswowidjoyo et al. 1997). Peta ini menggambarkan jalur lahar yang terekam secara historis,” terang Raymond sembari menunjukkan peta jalur lahar Semeru.
Pria penggemar kopi itu lantas menjelaskan, jika keruntuhan piroklastik dari lidah lava di celah-celah inilah yang menjadi bencana. “Salah satunya kita saksikan pada putusnya Gladak Perak, di perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang, pada 4 Desember 2021 lalu,” ungkapnya.
Raymond membeberkan, beberapa luncuran lahar yang signifikan dari Gunung Semeru tercatat berturut-turut pada 1885 terjadi di celah Kobokan sisi tenggara dari puncak gunung, 1909 terjadi di celah Sat/Tunggeng timur, 1913 terjadi di celah Rejali timur, 1916 terjadi di celah Rejali tenggara, 1948 terjadi di celah Rejali tenggara, 1951 terjadi di celah Rejali tenggara, dan 1957 di celah Rejali tenggara.
Kemudian pada 1968 terjadi celah Liprak dan Rejali tenggara, 1975 terjadi di celah Rejali tenggara, 1976 terjadi di celah Rejali dan Glidik tenggara dan selatan, 1978 terjadi di Glidik selatan, 1981 di Lengkong dan Glidik selatan, 1981 terjadi di celah Sat/Tunggeng timur, 2003 terjadi di Glidik dan Kobokan bagian selatan dan tenggara, serta 2009 di Rejali dan Kobokan sebelah timur dan tenggara.
“Kebencanaan di Gunung Semeru akibat aktivitas kegunungapian terjadi utamanya awan panas (APG), dan karena aliran piroklastik yang timbul karena turunnya lava dalam jumlah masif melalui celah-celah yang tersebar di sepanjang lidah lava di sisi selatan, tenggaram dan timur dari gunung tersebut (Solikin et al. 2012). Model dari bencana ini disebabkan terutama oleh hilangnya keseimbangan lidah lava oleh aktivitas erupsi,” jelas Raymond.
Diterangkannya, letusan Semeru terbesar terjadi pada 1909, yang menyebabkan terbentuknya kawah Joggring Salaka. “Sedangkan luncuran material piroklastik Semeru yang menelan korban terbesar terjadi pada 14 Mei 1983. Ketika itu 6 juta meter persegi lahar runtuh lewat celah Sat, Tunggeng, dan Mujur, dengan korban sebanyak 275 jiwa,” tutup Raymond. (Har/MAS)