Opini: Yunanto – malangpagi.com
Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Belanda yang populer pada medio dekade 1980an. Konkretnya, wie wind zaait zal storm oogsten. Artinya, Siapa menabur angin akan menuai badai.
Kala itu, sekitar 35 tahun silam, terjemahan peribahasa Belanda tersebut dipakai sebagai judul buku. Isi buku mengisahkan pemberontakan G 30 S/PKI di kawasan Jawa Timur. Penulisnya, Kolonel (Purn.) Soegiarso Soerojo.
Setelah buku tersebut beredar luas, muncul perkara hukum. Pengarang buku itu digugat oleh Soendoro Hardjoamidjojo, SH. Pengacara senior sekaligus sesepuh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) di Malang itu tidak terima.
Inti perkaranya, ada satu bab dalam buku tersebut yang mengisahkan ihwal Bupati Nganjuk tahun 1965 terlibat G 30 S/PKI. Bupati Nganjuk tahun itu adalah Soendoro Hardjiamidjojo, SH.
Wajar, Pak Ndoro, sapaan akrab mantan Bupati Nganjuk itu, “kebakaran jenggot”. Terlebih lagi setelah menjabat di Nganjuk, Pak Ndoro menjabat Kepala Daerah Kabupaten Malang.
Tokoh publik berperawakan tinggi dan langsing itu pun melayangkan gugatan pada pengarang buku tersebut. Persidangan perkara perdata di zaman Orde Baru itu digelar di PN Jakarta Pusat. Tak pelak, penggugat harus mondar-mandir Malang-Jakarta.
Setelah belasan kali sidang, pengadilan mengabulkan gugatan Pak Ndoro. Selain nama baiknya harus dipulihkan lewat pengumuman luas (iklan) di berbagai media massa, tergugat pun dibebani uang ganti rugi yang harus dibayarkan tunai pada Pak Ndoro selaku penggugat.
Kala itu, saya selalu nyanggong (menunggu) Pak Ndoro pulang dari sidang di Jakarta. Tentu, untuk wawancara ihwal jalannya persidangan. Kadang saya sanggong di kantor hukumnya, di Jalan Trunojoyo, selatan Pasar Klojen, kawasan tengah Kota Malang. Kadang di rumahnya, Jalan Kepundung, Kota Malang.
“Kasus” Pornografi
Kini, setelah sekitar 35 tahun berlalu, saya teringat kembali pada makna pepatah Belanda tersebut. Jembatan ingatan saya terbangun lewat “kasus” pornografi di sebuah grup WhatsApp (WA) yang dibentuk oleh institusi pelat merah di Pemkot Batu.
Apa korelasi antara pepatah Belanda tersebut dengan “kasus” pornografi di grup WA yang kini tengah ditangani Polres Kota Batu? Ada korelasinya, kendati tidak secara harfiah. Paling tidak, korelasi dalam hakikat dan makna.
Saya beropini, siapa pun yang telah “menaburkan” pornografi lewat grup WA, sepatutnya “menuai badai”. Wujud konkretnya, sanksi pidana penjara dan/atau denda. Timbulnya efek jera merupakan elemen penting dalam perjuangan menegakkan hukum.
Disimak dari perspektif hukum positif, memang ada perbuatan melawan hukum yang telah selesai dilakukan oleh “penabur” pornografi dan perbuatan itu kasat mata (actus reus). “Ranjau” di Pasal 27, ayat (1), UU No. 11/Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No. 19/ Tahun 2016 tentang ITE, memang telah “diinjak”.
Wajar bila Pasal 45, ayat (1), UU ITE meletupkan “badai” sebagai sanksi pidananya. Penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp1 Miliar.
Siapa yang “menginjak ranjau” di UU ITE dalam kontek kasus pornografi dimaksud? Tentu saja pihak “penabur” konten pornografi. Pihak penanggung jawab grup WA dimaksud juga bisa terkena imbas letupan “badai” di Pasal 45, ayat (1), UU ITE. Paling tidak, terjerat Pasal 55, ayat (1), ke-1, KUHP. Lazim disebut dengan terminologi “turut serta”.
Andai pihak “penabur” pornografi di grup WA itu berdalih “iseng saja” melakukan perbuatan melawan hukum, jelas tidak rasional. Bagaimana bisa “iseng” melawan hukum? Lantas apa bedanya dengan “iseng” menipu, “iseng” memeras, “iseng” menganiaya, atau “iseng” membunuh?
Loloskah dari sanksi pidana jika “iseng” dimaksud telah selesai dilakukan dan kasat mata? Tentu tidak sepatutnya lolos. Rusak tatanan recht staat (negara hukum) jika unsur-unsur pasal yang disangkakan telah tergenapi, tapi masuk koridor “iseng”.
Konklusinya, “iseng” hanyalah sekadar dalil tolol agar lolos dari jerat hukum. Setolol apa pun bila sebuah produk hukum positif telah diundangkan, maka siapa pun dianggap tahu. Hal yang misteri terletak pada mens rea, motif yang membalut niat pelaku melakukan perbuatan melawan hukum.
Pembelajaran
“Kasus” pornografi di grup WA bentukan institusi pelat merah di Pemkot Batu, idealnya membuahkan hikmah. Pembelajaran yang berharga dalam berinteraksi dengan siapa pun di dunia maya (cyber). Memang fakta, jagat cyber terus melesatkan kecanggihan teknologi. Inovasinya tiada henti.
Kini bukan lagi “mulutmu harimaumu”, tapi bergeser menjadi “jari-jari tanganmu harimaumu”. Pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang mengindahkan norma kesusilaan dalam masyarakat, menjadi mutlak perlu. Secanggih apa pun teknologi di dunia maya.
“Kasus” pornografi lewat grup WA yang kini tengah ditangani Polres Kota Batu, idealnya membuahkan sejumlah hal positif. Sebut saja, antara lain, (1) penegakan hukum yang menimbulkan efek jera; (2) pembelajaran yang bermuatan pencerahan bagi masyarakat ihwal bersosial-media secara baik dan benar.
Siapa menabur angin akan menuai badai. Semoga hal-hal ideal dalam konteks pembelajaran dan hikmah positif bisa dihadirkan. Bermanfaat pula bagi “si penabur angin”, kendati Ia terpaksa harus “menuai badai”.
*Yunanto adalah alumnus Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta, wartawan senior harian sore Surabaya Post (1982-2002), dan Penasihat LASMI (Lembaga Supremasi Media Indonesia).
Editor : MA Setiawan