SIDOARJO – malangpagi.com
Kasus gigitan ular, baik yang berbisa maupun tidak, kerap mengakibatkan banyak korban berjatuhan, bahkan akhirnya meninggal dunia. Edukasi terkait penanganan kasus semacam ini ke masyarakat dirasa masih kurang.
Satu sosok yang konsisten mensosialisasikan bahaya gigitan ular adalah Dr. dr. Tri Maharani, M.Si Sp.Em, satu-satunya dokter spesialis toksikologi ular berbisa di Indonesia.
Melalui acara Arisan Ilmu Nol Rupiah jilid 38 yang diadakan Sekber Relawan Penanggulangan Bencana (SRPB) Jawa Timur, dengan kali ini mengusung tajuk “First Aid dan Penanganan Medis Gigitan Ular”, perempuan yang akrab dipanggi Dokter Maha itu menularkan ilmunya kepada sekitar 100 relawan anggota organisasi mitra SRPB Jatim.
Acara yang berlangsung di Joglo Kadiren, Permata Juanda, Sidoarjo, Minggu (29/11/2020) tersebut menarik antusiasme peserta. Bahkan, acara ini sempat molor dari waktu batas waktu yang direncanakan. Pasalnya, banyak peserta bersemangat mengajukan pertanyaan. Namun, Dokter Maha dengan sabar melayani pertanyaan para peserta.
Menurut perempuan kelahiran Kediri, Jawa Timur 49 tahun silam itu, Indonesia memiliki banyak jenis ular. Bahkan, jumlahnya melebihi yang ada di Thailand maupun Australia. Dalam catatannya, terdapat 77 jenis ular berbisa, dan 377 jenis yang tak berbisa.
“Indonesia adalah negara yang kaya dengan ular. Namun sayangnya antivenom (antiracun) ular hanya sedikit diproduksi,” ungkap pendiri organisasi Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) Indonesia pada 2015 serta Indonesia Toxinology Society (ITS) itu.
Oleh karena itu, Dokter Maha menyebut kasus gigitan ular ibarat gunung es. Bahkan, merupakan kasus yang diabaikan (neglected case). World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa kasus-kasus gigitan ular tergolong dalam neglected tropical disease atau penyakit tropis yang terabaikan.
Dokter Maha juga membahas masalah mitos tentang ular. Di antaranya pemberian garam, ijuk, maupun penggunaan belerang untuk mengusir ular.
“Tidak ada bahan-bahan biologis yang bisa mengusik atau mengusir ular,” kata Kepala Departemen Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kota Kediri itu.
Ia juga mengungkapkan, sangat susah untuk membedakan ular yang berbisa dan tidak dari faktor morfologinya. “Karena warna dan corak ular sangat beragam. Juga ada rumus-rumusnya,” imbuhnya.
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) Malang itu menyinggung kehidupan ular yang soliter (sendirian). Begitu ia dilahirkan, ular, tak akan mengenal induknya. Tidak seperti hewan-hewan lain pada umumnya.
“Jadi jangan percaya jika ada bilang jangan membunuh ular. Karena akan membuat ular-ular lainnya membalas dendam,” tukas penasihat WHO untuk kasus gigitan ular ini.
Untuk ular berbisa, terdapat sisik loreal yang berada di antara sisik mata dan hidung. Kondisi ini tak ditemukan di ular tak berbisa. Selain itu, gigi ular berbisa umumnya seperti taring. Tusukan gigi ular berbisa membentuk luka yang kecil, meski hanya satu. Sedangkan luka dari gigitan ular tak berbisa berbentuk robekan dan abrasi.
Dokter Maha juga menjelaskan kaitan antara ular dengan kebencanaan. Di beberapa lokasi gunung yang akan meletus, memang ditemukan adanya kemunculan ular maupun hewan-hewan lainnya. Biasanya ditandai dengan turunnya ular pohon ke permukiman. Sedangkan ular tanah baru muncul beberapa saat sebelum gunung meletus.
Koordinator SRPB Jatim, Dian Harmuningsih mengatakan bahwa ilmu yang ditularkan oleh Dokter Maha sangat bermanfaat. Terutama bagi para relawan yang kerap melakukan aktivitas outdoor.
“Saya minta agar ilmu dr. Tri Mahariani bisa diserap dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sangat beruntung para peserta bisa mendapatkan ilmu dari narasumber yang sangat kompeten di bidangnya,” jelasnya.
Ratusan korban gigitan ular berbisa berhasil diselamatkan oleh dr. Tri Maharani menggunakan serum antibisa ular (SABU). Baik yang sudah diproduksi di Indonesia maupun diimpor.
Indonesia hingga saat ini telah mampu memproduksi SABU polivalen yang bisa digunakan untuk kasus gigitan berbagai jenis ular berbisa.
Sementara itu, pembicara lainnya, Ns. Mukhamad Fathoni, S.Kep MNS yang merupakan Dosen Program Profesi Ners KK UB Malang, membawakan materi “Asuhan Keperawatan dan Demo Penanganan First Aid Gigitan Ular.”
Reporter : Muhammad Ali
Editor : MA Setiawan