KOTA MALANG – malangpagi.com
Seminar daring, atau webinar antarbangsa yang diselenggarakan LP2M Universitas Negeri Malang (UM), Selasa (3/11/2020) menghadirkan topik sangat menarik. Di mana akademisi sekaligus seniman asal Indonesia dan Thailand saling membahas soal epos Ramayana melalui Zoom Meeting.
Kisah Ramayana sejatinya berawal dari India, yang diadaptasi dari karangan Walmiki sekitar 400 sebelum Masehi. Kisah ini terdiri dari tujuh jilid (kanda), dan telah digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 seloka.
Berbagai alur Ramayana di Indonesia kebanyakan bersumber pada Ramayana Walmiki. Namun, para pengarang Indonesia sengaja membuat sejumlah perbedaan, agar cocok dengan budaya setempat.
Epos Ramayana sendiri muncul dalam beragam versi. Di Indonesia sendiri, kitab Ramayana ditulis dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), sekitar zaman Kerajaan Mataram kuno di abad ke-9. Selain di Indonesia, kisah sejenis juga muncul di belahan lain Asia Tenggara, termasuk Thailand.
Webinar yang diikuti oleh 350 peserta tersebut menampilkan empat pembicara. Yaitu Peneliti Seni Pertunjukan Dr. Robby Hidajat M.Sn dari Universitas Negeri Malang, Ahli Tradisi Lisan Dan Seni Pertunjukan Rahmat Joko Prakoso M.Sn dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Ahli Kritik Seni Dan Penari/Koreografer Dr. Sumaryono MA dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan Ahli Etnomusikologi Dr. Surasak Jamnongsarn dari Department of Traditional Thai and Asian Music di Srinakharinwirot University Bangkok, Thailand.
Merajuk pandangan Dr. Sumaryono, tokoh dan kisah Ramayana sedikit banyak menginspirasi sastrawan dan seniman, dalam menghasilkan karya-karya seninya.
“Berbagai episode kisah Ramayana juga diaplikasikan ke dalam berbagai bentuk seni pertunjukan (sendratari, wayang orang dan wayang kulit). Namun di dalam seni pedalangan Jawa, dimunculkan empat tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) yang tidak terdapat pada versi India. Termasuk Limbuk, Cangik, Togog dan Mbilung itu tokoh-tokoh yang selalu mengisi perjalanan Rama di versi Indonesia,” jelas Sumarsono sambil menunjukkan buku-buku komik Ramayana karya RA Kosasih.
Lain halnya dengan Dr. Surasak Jamnongsarn yang menuturkan bahwa Ramayana masuk ke Thailand pada masa Kerajaan Sukhothai, kerajaan pertama di Thailand.
“Penceritaan Ramayana memakai media berupa wayang kulit khas Thailand, Nang Yai, yang diadopsi dari wayang kulit Jawa, namun bentuknya lebih besar,” ungkar Surasak.
“Dan dalam cerita tersebut, ditambahkan unsur animisme khas lokal Thailand. Seperti adanya tokoh duyung Suvannamaccha, kaki tangan Rahwana yang dicintai oleh Hanuman, seekor kera putih putra Batara Bayu dan Anjani,” lanjutnya.
Menurut Serat Pedhalangan, tokoh Hanuman sebenarnya tokoh asli dari kisah Ramayana. Namun dalam pengembangannya, tokoh ini juga muncul di serial Mahabharata. Sehingga menjadi tokoh antarzaman.
Walaupun Thailand dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, namun tak dipungkiri banyak peninggalan sejarahnya yang menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme.
Seperti relief Ramakien di Wat Phra Kaew, yang mempunyai nama lengkap Wat Phra Sri Rattana Satsadaram, berupa vihara yang dibangun ketika raja Buddha Yodfa Chulaloke (Rama I) memindahkan ibu kota dari Thonburi ke Rattanakosin, yang dikenal dengan nama Bangkok.
Banyaknya kemiripan cerita Ramayana dari berbagai versi merupakan gagasan besar tentang nilai hidup manusia, sebagai khasanah filosofi dari berbagai wilayah budaya. Antara lain India, China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Malaysia, Burma, Kamboja, Thailand, Laos, Sunda, Jawa, Bali, dan Filipina.
Bahkan menurut Rahmat Joko Prakoso M.Sn, penyebaran cerita tersebut dapat dimaknai sebagai refleksi pemahaman ideologi kultural yang senafas, dan dirintis proses migrasi, perdagangan dan persebaran agama.
Dalam webinar antarbangsa ini, Dr. Robby Hidajat M.Sn menyampaikan laporan terbuka hasil penelitiannya yang berjudul “Transformasi Estetika Simbolik Lakon Ramayana Indonesia Thailand”.
Penelitian ini Ia lakukan di Kampung Budaya Polowijen (KBP) Kota Malang, bersama Isa Wahyudi alias Ki Demang, dengan mengeksplorasi lakon Ramayana berjudul “Anoman Gandrung”.
Transformasi sastra epos Ramayana ini memiliki potensi penguatan industri kreatif pariwisata yang saling berkaitan. Serta memiliki dukungan pada local wisdom dari berbagai lingkungan etnik masyarakat. Baik di Indonesia maupun Thailand, atau di negara-negara Asia lainnya.
Reporter : Christ
Editor : MA Setiawan